Thursday 11 February 2016

Al-Ghozali; Antara Pendidikan Dan Spiritualitas


 Oleh : Abdurrofik



Dunia pendidikan yang merupakan lembaga bertujuan untuk mencetak kader bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia, harus memperhatikan dari berbagai aspek potensi yang dimiliki seluruh sivitas akademika. Kualitas manusia sebagai makhluk yang menjadi penerus pendahulunya tergantung bagaimana menjalani siklus pendidikannya. Ketika dalam dunia pendidikan tercipta suasana yang tenang, religius, prosedural serta beretika yang baik, maka dapat dipastikan ilmu yang diperoleh akan menjadi pengaruh revolusi ke peradaban yang lebih baik. Namun sebaliknya, jika dalam dunia pendidikan terjadi suanan yang carut-marut dan hanya mengedepankan ketajaman akal, maka jangan heran jika output dari pendidikan tersebut menjadi penerus bangsa yang pintar tapi selalu dihujani oleh masalah, seperti para koruptor yang ada pada saat ini.
            Dalam membentuk kepribadian manusia yang baik, salah satu yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana tingkat spiritualitas seorang. Tidak jarang orang yang telah sukses menggapai karir melejit setinggi langit, namun kehidupannya penuh dengan masalah. Kegelisah, kesenjangan sosial, kecemasan bahkan rasa ketakutan senantiasa menghantui. Jika ditelususi kemungkinan besar orang yang seperti itu adalah karena telah haus akan spiritualitas. Sehingga ilmu yang dimilkinya tidak dapat menjadi bahan pengendali gerak aktivitasnya, malah justru membawanya ke jurang kehinaan. Ketika kita kembalikan pada dunia pendidikan, saat ini tindak kriminalitas sebagian besar dilakukan oleh peserta didik. Berita tawuran, pelaku asusila, pecandu  narkoba bahkan pembunuhan yang dimotori oleh siswa selalu menjadi warna-wani media masa. Ini menjadi gambaran bahwa dunia pendidikan saat ini masih lebih memprioritaskan ketajaman akal, padahal seharusnya masih ada potensi lain yang harus senantiasa dikembangkan yakni emosional dan spiritual.
              Al-Ghozali dalam karya monumentalnya Ma'arijul Quds, menjelaskan bahwa spiritualitas merupakan potensi kejiwaan yang ada dalam diri manusia untuk dikembangkan dan dioptimalkan. Al-Ghozali menukil hadits nabi yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Atas dasar hadits ini Al-Ghozali mencoba mengklarifikasi jiwa yang ada pada manusia. Dalam diri manusia ada potensi yang dapat mengantarkan seorang menuju pada kebahagiaan, diataranya adalah potensi berfikir, marah dan syahwat. Kebahagian seorang ditentukan oleh bagaimana ia mengendalikan tiga potensi ini. Artinya, ketika seorang dapat mengendalikan potensi ini dengan baik maka tentu prinsip serta tujuan hidup seorang akan dapat terarah dan sesuai dengan kode etik yang ada.
            Ketika dikaitkan dengan dunia pendidikan, Al-Ghozali mejelaskan bahwa pendidikan yang benar adalah wahana untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tidak mengecualikan dunia pendidikan itu yang background-nya pendalaman ilmu dunia atau ilmu umum. Ilmu umum ketika senantiasa diimbangi dengan perenungan tentang ke-Tuhanan maka juga akan mengantarkan seorang pada keimanan yang lebih kuat. Seperti mempelajari ilmu Geografi misalnya, ketika diimbangi dengan perenungan tentang KeTuhanan maka pencari ilmu akan berfikir begitu besar ciptaan Tuhan yang telah menciptakan planet-planet dan benda langit lainnya. Jika kepribadian seorang telah diwarnai dengan ke-Tuhanan maka pasti juga akan berpengaruh terhapap gerak aktifitas sehari-harinya. Dengan demikian maka apabila seorang yang berilmu namun tidak mendapatkan cahaya dari Tuhan, maka ilmu tersebut akan tampak gelap artinya tidak akan tampak pada gerak aktifitasnya.
            Dengan spiritualitas pula, seorang akam mampu menentukan hakikat hidupnya. Dan menyatakan bahwa kebahagian, ketenangan dan ketentraman yang nyata adalah ketika dalam hatinya selalu memancar nama Tuhan, terlebih apabila seorang dapat mengetahui Allah secara hakiki (al-Ma’rifat Billah). Lebih dari pada itu, tingginya spiritualitas tidak hanya sejauh mana hubungan seorang dengan sang kholiknya, malainkan juga bagaimana kehidupan sosial dengan sesama. Pengalaman spiritual dapat juga dilakukan dengan cara menjalani kehidupan sosial dengan baik, seperti ada perasaan empati pada orang lebih tidak mampu, peka, dan bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan.
            Dengan ini jelas, dunia pendidikan yang selayaknya harus dijunjung tinggi dan merupakan wahana yang mulia jangan sampai mengesampingkan peran spiritualitas. Penulis membayangkan seandainya dalam pendidikan itu berjalan seimbang antara proyeksi intelektual dan spiritual, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan itu akan mewujudkan tujuan pendidikan yang telah diproklamirkan oleh pemerintah yakni membentuk generasi yang cerdas, kreatif serta Iman kepada Allah swt. 

Disarikan dari kitab Ma'rijul Quds dan, Ihya'ulumiddin Dan Mizanu al-Amal. 


1 comment:

  1. kalau baca postingan ini jadi teringat sama ayat yang menjadi standar kurikulum pendidikan pesantren. gimana itu bunyinya?

    ReplyDelete