This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday 15 February 2016

Membangun Integritas Pemimpim



وعن بن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلّم قال: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعيّتِهِ, والأميرُ راعٍ, والرّجُلُ راعٍ على أهلِ بيتِهِ, والمرأةُ رَاعِيَّةٌ على بيتِ زوجِها وَوَلَدِهِ, فكلّكم راعٍ وكلّكم مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ. (متفق عليه)

Dari Ibn Umar ra. Dari Nabi saw, beliau bersabda : “ Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya, demikian pula seorang isteri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya.Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai 
pertanggungtawaban atas kepemimpinan kalian”.(HR. Bukhari dan Muslim)

Menelisik dari pernyataan haidts tersebut, maka semua menusia adalah pemimpin. Tak terkecuali itu laki-laki ataupun perempuan. Jika telah terdengan kata pemimpin, maka tentu akan berhadapan dengan tanggung jawab, yang akan dipertanggung jawabkan atas kepemimpinannya. Seorang ayah akan bertanggung jawab untuk melindungi istri dan anak-anaknya, seorang istri bertanggung jawab menajaga harta dan kehormatannya, bahkan sampai seorang presiden pun juga harus bertanggung jawab untuk memakmurkan rakyatnya.
Dengan berbagai macam tanggung jawab sesuai status yang dipimpinnya, ada salah satu hal yang penulis kira sangat urgen untuk diperhatikan, yakni jati diri. Dalam bahasa dunia pendidikan disebut dengan istilah integritas. John C. Maxwel mengungkapkan bahwa integritas adalah tidak mengandalkan siapa yang ada disekitar kita, akan tetapi selalu mempunyai prinsip siapa diri kita, tidak peduli di mana dan dengan siapa berada (John. Maxwell,1995:37).  Dengan mempunyai prinsip ini, pemimpin akan senantiasa mengayati diri sendiri sebelum ia memimpin orang lain.
Seorang yang mempunyai integritas, selalu komitmen dan merasa aman dengan apa yang dilakukanya. Karena ia mengatakan sesuai dengan apa yang dia lakukan. Seorang ayah, tidak akan menyuruh anaknya untuk berkata jorok misalnya, sebelum ayah itu memperbaiki diri untuk tidak berkata jorok didepan anaknya. Dengan ini, pemimpin akan selalu luas untuk memberikan program baru, metode baru, atau tehnik baru untuk mewujudkan sebuah program yang telah direncanakan. Bahkan dengan ini pula pemimpin akan mudah untuk merealisasikannya dengan dasar mempunyai kepercayaan yang kuat.
Langkah awal dalam membangun sebuah kepercayaan adalah harus dimulai dari diri pemimpin itu sendiri. Pemimpin yang bijaksana lebih banyak berbuat dari pada hanya omong kosong yang tidak ada pengaruhnya.  Kualitas dan pengaruh sebuah pernyataan tergantung siapa yang menyatakan. Jika ungkapan “mari sholat” misalnya diungkapkan oleh orang yang benar-benar rajin ibadah, tentu kualitasnya berbeda jika ungkapan tersebut dinyatakan oleh orang jarang beribadah, sekalipun kalimatnya sama. Sehingga tidak heran ketika hadits nabi itu merupakan pernyataan sakral bahkan menjadi sumber hukum, karena memang nabi mepunyai integritas tinggi dan mempunyai hubungan dekat dengan Tuhan.
Nah, ironisnya, dewasa ini tidak jarang seorang pemimpin hanya mendahulukan citra dari pada integritasnya. Mereka hanya menampakkan simbol kebohongan, untuk membuat orang lain mengerti tentang diri kita, tidak berusaha mengerti apa yang ada dalam diri kita sesungguhnya. Citra banyak menjanjikan tetapi sedikit menghasilkan, sementara integritas tidak pernah mengecewakan (John. Maxwell,1995:37).
Dengan demikian, seorang pemimpin tidak hanya mengandalkan kepintaran. Jauh lebih penting dari itu adalah kejujuran, keterbukaan, dan sesuai dengan apa yang dikatakan. Dengan modal integritas ini akan mempermudah untuk mengaktualisasika kepintaranya karena mempunyai pengaruh dan dukungan serta kepercayaan yang kuat. Ann Landers mengatakan “Orang yang mempunyai integritas mengharapkan untuk dipercaya. Mereka juga tahu waktu akan membuktikan bahwa mereka benar dan bersedia menunggu”. Wallahu A’lam.

Disarikan dari bukunya John. C. Maxwell


Thursday 11 February 2016

Pengakuan Imam Al-Ghozali Yang Begitu Menyentuh Hati.






            
Oleh : Abdur Rofik  

               Nama Al-Ghazali tidak asing lagi dikalangan intelektual Islam, Ia dikenal sebagai hujjah al-Islam (argumentator Islam). Telah banyak karyanya yang diaji baik di kalangan mahasiswa maupun di kalangan santri Pondok Pesantren. Terlebih karyanya yang berjudul Ihya' al-ulumiddin, kitab yang dikarang setelah ia mengalami skpetis ini merupakan kitab paling populer di kancah internasional. Namun demikian, hasil karangan beliau yang tertuang dalam kitab Ihya' Ulumiddin merupakan hasil dari perenungan tentang tujuan mencari kebenaran yang hakiki adalah melalui kebenaran hati. Ia menyebutkan bahwa kebahagian yang nyata adalah kebahagian bathin. Gemerlap dunia dengan hiasan yang begitu indah, sehingga tak jarang orang mengejarnya merupakan kebagian yang dapat membuat orang -orang terlena dan lupa pada tujuan hidup yang sebenarnya, yakni mengetahui Allah secara hakiki. Dalam kondisi kesedihan hati tersebut, Al-Ghazali menuangkan pernyatan terharuny adalah kitab Al-Munqidz Minadlalal yang berbunyi: 




ثم تفكرت في نيتي في التدريس فإذا هي غير خالصة لوجه الله تعالى, بل باعثها ومحركها طلب الجاه وانتشار الصيت, فتيقنت أني على شفا جُرُف هار, وأني قد أشفيت على النار, إن لم أشتغل بتلافي الأحوال. فلم أزل أتفكر فيه مدة ، وأنا بعدُ على مقام الاختيار, أصمم العزم على الخروج من بغدادومفارقة تلك الأحوال يوماً، وأحل العزم يوماً ، وأقدم فيه رجلاً وأؤخر عنه أخرى. لاتصدق لي رغبة في طلب الآخرة بكرة، إلاويحمل عليها جند الشهوة حملة فيفترها عشية. فصارت شهوات الدنيا تجاذبني بسلاسلهاإلى المقام ، ومنادي الإيمان ينادي: الرحيل! الرحيل! فلم يبق من العمر إلا قليل ، وبين يديك السفر الطويل، وجميع ما أنت فيه من العلم والعمل رياء وتخييل! فإن لم تستعدالآن للآخرة فمتى تستعد؟ وإن لم تقطع الآن هذه العلائق فمتى تقطع؟ فعند ذلك تنبعث الداعية ، وينجزم العزم على الهرب والفرار.ثم يعود الشيطان ويقول:هذه حال عارضة، إياك أن تطاوعها ، فأنـها سريعةالزوال؛ فإن أذعنت لها وتركت هذا الجاه العريض، والشأن المنظوم الخالي عن التكديروالتنغيص، والأمر المسلم الصافي عن منازعة الخصوم، ربماالتفتت إليه نفسك، ولايتيسر لك المعاودة.فلم أزل أتردد بين تجاذب شهوات الدنيا، ودواعي الآخرة، قريباً من ستة أشهر أولها رجب سنة ثمانوثمانين وأربع مائة. وفي هذاالشهر جاوز الأمر حدالاختيار إلى الاضطرار، إذ أقفل الله على لساني حتى اعتقل عن التدريس، فكنت أجاهدنفسي أن أدرس يوماً واحداً تطييباً لقلوب المختلفة إلي، فكان لاينطق لساني بكلمة (واحدة) ولا أستطيعها البتة ، حتى أورثت هذه العقلة في اللسان حزناًفي القلب، بطلت معه قوة الهضم ومراءة الطعام والشراب: فكان لا ينساغ لي ثريد، ولاتنهضم لي لقمة, وتعدى إلى ضعف القوى ، حتى قطع الأطباء طمعهم من العلاج وقالوا: هذاأمر نـزل بالقلب ، ومنه سرى إلى المزاج ، فلا سبيل إليه بالعلاج، إلا بأن يتروح السر عن الهم الملم.
ثم لما أحسست بعجزي، وسقط بالكلية اختياري، التجأت إلى الله تعالى التجاء المضطر الذي لا حيلة له، فأجابني الذي يجيب المضطر إذا دعاه, وسهل على قلبي الإعراض عن الجاه والمال والأهل والولد والأصحاب, وأظهرت عزم الخروج إلى مكة وأناأدبّر في نفسي سفر الشام حذراً أن يطلع الخليفة وجملة الأصحاب على عزمي على المقام في الشام, فتلطفت بلطائف الحيل في الخروج من بغداد على عزم أن لا أعاودهاأبداً. [1]

“Aku renungkan niatku dalam mengajar, ternyata niatku bukan karena Allah, melainkan niat untuk mencari popularitas, pangkat dan jabatan, sehingga mengantarkanku ke jurang kehancuran. Sungguh aku ini akan terjilat api neraka sekiranya tidak segera memperbaiki diri. Kesenangan akan harta dunia menyeretku dengan rantai-rantainya ke kuburan. Sementara panggilan iman terdengar sayup-sayup tanpa aku gubris. Padahal umur ini tinggal terasa sedikit, dan nantinya akan kuterima catatan lembaran amal yang sangat rinci memuat pamrih-pamrihku selama ini. Syetan selalu membisikkan bujuk rayunya” Hidup ini adalah peluang bagus untuk mendapatkan segalanya, jangan kau sia-siakan”. Terus-menerus aku diliputi keraguan antara mengikuti bisikan syetan dan pesona gemerlap dunia dengan mengabaikan dorongan akhirat, selama tidak kurang dari enam bulan, mulai dari bulan Rajab tahun 488 H. Di bulan ini mulutku terkunci rapat tak bisa berkata apa-apa, hingga aku tak bisa mengajar. Hatiku begemuruh menahan rasa sedih, bahkan aku tak mampu mengunyah makanan sehingga kian hari badanku melemah. Para dokter sibuk berusaha mengobati. Namun, akhirnya mereka tahu bahwa sakit yang aku derita berasal dari kesedihan hati. Maka, kesembuhannya pun hanya bisa terjadi, bila ada ketentraman hati. Di saat aku sudah merasa lemah tak berdaya aku pasrah sepenuhnya kepada Allah. Lalu aku merasa mendengar bisikan menyelinap ke relung hatiku agar aku berpaling dari kemewahan, pangkat, jabatan, keluaga, kerabat, dan sanak saudara. Aku bertekad untuk pergi ke Makkah. Terbesit hati untuk pergi ke arah Syam (Syiria) secara sembunyi-sembunyi agar kepergianku tidak diketahui oleh khalifah dan kerabat dekat. Aku tinggalkan Baghdad dengan niatan tidak kembali selama-lamanya.
     Semoga dengan membaca pernyataan Al-Ghozali ini, kita senantiasa mengingat bahwa sebagaimana yang telah diaungkap oleh Gus. Dur tidak ada sesuatu apapun yang perlu dipertahankan mati-matian di dunia. Kita serahkan semuanya kepada Allah swt. 
Wallahu A'lam

[1]Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dlalal.(Bierut: Dar al-Andalus, 1967), halaman 134-136.

Al-Ghozali; Antara Pendidikan Dan Spiritualitas


 Oleh : Abdurrofik



Dunia pendidikan yang merupakan lembaga bertujuan untuk mencetak kader bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia, harus memperhatikan dari berbagai aspek potensi yang dimiliki seluruh sivitas akademika. Kualitas manusia sebagai makhluk yang menjadi penerus pendahulunya tergantung bagaimana menjalani siklus pendidikannya. Ketika dalam dunia pendidikan tercipta suasana yang tenang, religius, prosedural serta beretika yang baik, maka dapat dipastikan ilmu yang diperoleh akan menjadi pengaruh revolusi ke peradaban yang lebih baik. Namun sebaliknya, jika dalam dunia pendidikan terjadi suanan yang carut-marut dan hanya mengedepankan ketajaman akal, maka jangan heran jika output dari pendidikan tersebut menjadi penerus bangsa yang pintar tapi selalu dihujani oleh masalah, seperti para koruptor yang ada pada saat ini.
            Dalam membentuk kepribadian manusia yang baik, salah satu yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana tingkat spiritualitas seorang. Tidak jarang orang yang telah sukses menggapai karir melejit setinggi langit, namun kehidupannya penuh dengan masalah. Kegelisah, kesenjangan sosial, kecemasan bahkan rasa ketakutan senantiasa menghantui. Jika ditelususi kemungkinan besar orang yang seperti itu adalah karena telah haus akan spiritualitas. Sehingga ilmu yang dimilkinya tidak dapat menjadi bahan pengendali gerak aktivitasnya, malah justru membawanya ke jurang kehinaan. Ketika kita kembalikan pada dunia pendidikan, saat ini tindak kriminalitas sebagian besar dilakukan oleh peserta didik. Berita tawuran, pelaku asusila, pecandu  narkoba bahkan pembunuhan yang dimotori oleh siswa selalu menjadi warna-wani media masa. Ini menjadi gambaran bahwa dunia pendidikan saat ini masih lebih memprioritaskan ketajaman akal, padahal seharusnya masih ada potensi lain yang harus senantiasa dikembangkan yakni emosional dan spiritual.
              Al-Ghozali dalam karya monumentalnya Ma'arijul Quds, menjelaskan bahwa spiritualitas merupakan potensi kejiwaan yang ada dalam diri manusia untuk dikembangkan dan dioptimalkan. Al-Ghozali menukil hadits nabi yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Atas dasar hadits ini Al-Ghozali mencoba mengklarifikasi jiwa yang ada pada manusia. Dalam diri manusia ada potensi yang dapat mengantarkan seorang menuju pada kebahagiaan, diataranya adalah potensi berfikir, marah dan syahwat. Kebahagian seorang ditentukan oleh bagaimana ia mengendalikan tiga potensi ini. Artinya, ketika seorang dapat mengendalikan potensi ini dengan baik maka tentu prinsip serta tujuan hidup seorang akan dapat terarah dan sesuai dengan kode etik yang ada.
            Ketika dikaitkan dengan dunia pendidikan, Al-Ghozali mejelaskan bahwa pendidikan yang benar adalah wahana untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tidak mengecualikan dunia pendidikan itu yang background-nya pendalaman ilmu dunia atau ilmu umum. Ilmu umum ketika senantiasa diimbangi dengan perenungan tentang ke-Tuhanan maka juga akan mengantarkan seorang pada keimanan yang lebih kuat. Seperti mempelajari ilmu Geografi misalnya, ketika diimbangi dengan perenungan tentang KeTuhanan maka pencari ilmu akan berfikir begitu besar ciptaan Tuhan yang telah menciptakan planet-planet dan benda langit lainnya. Jika kepribadian seorang telah diwarnai dengan ke-Tuhanan maka pasti juga akan berpengaruh terhapap gerak aktifitas sehari-harinya. Dengan demikian maka apabila seorang yang berilmu namun tidak mendapatkan cahaya dari Tuhan, maka ilmu tersebut akan tampak gelap artinya tidak akan tampak pada gerak aktifitasnya.
            Dengan spiritualitas pula, seorang akam mampu menentukan hakikat hidupnya. Dan menyatakan bahwa kebahagian, ketenangan dan ketentraman yang nyata adalah ketika dalam hatinya selalu memancar nama Tuhan, terlebih apabila seorang dapat mengetahui Allah secara hakiki (al-Ma’rifat Billah). Lebih dari pada itu, tingginya spiritualitas tidak hanya sejauh mana hubungan seorang dengan sang kholiknya, malainkan juga bagaimana kehidupan sosial dengan sesama. Pengalaman spiritual dapat juga dilakukan dengan cara menjalani kehidupan sosial dengan baik, seperti ada perasaan empati pada orang lebih tidak mampu, peka, dan bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan.
            Dengan ini jelas, dunia pendidikan yang selayaknya harus dijunjung tinggi dan merupakan wahana yang mulia jangan sampai mengesampingkan peran spiritualitas. Penulis membayangkan seandainya dalam pendidikan itu berjalan seimbang antara proyeksi intelektual dan spiritual, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan itu akan mewujudkan tujuan pendidikan yang telah diproklamirkan oleh pemerintah yakni membentuk generasi yang cerdas, kreatif serta Iman kepada Allah swt. 

Disarikan dari kitab Ma'rijul Quds dan, Ihya'ulumiddin Dan Mizanu al-Amal.