Saturday 14 May 2016

Antara Pesantren Dan Demokrasi






Sebagaimana yang kita pahami bahwa demokrasi merupakan sistem negara yang menitik beratkan kekuasaan di tangan rakyat.  Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani dari kata demokrata yang berarti kekuasaan di tangan  rakyat. Dengan demikian, maka rakyat mempunyai peran penting dalam menentukan kemajuan sebuah negara, lantaran pemimpin negara dipilih langsung oleh rakyat.  Sehingga, ratyatlah yang mempunyai kedaulatan tertinggi.

Kalangan agama Islam di belahan dunia, terlebih di kawasan Timur Tengah, sistem demokrasi menuai sorotan yang begitu tajam. Selain memberikan alasan ideologis, mereka menyatakan bahwa demokrasi merupakan produk orang barat yang tentunya didominasi oleh kalangan orang kafir. Hal ini menurut mereka dapat mengakibatkan fatal ketika pemimpin di pegang oleh orang yang bukan ahlinya. Karena, dalam demokrasi semua orang atau rakyat dapat menjadi pemimpin. Sebagaimana dalam hadits nabi menyatakan bahwa ketika sebuah negara dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya. Namun, ada cendikiawan muslim yang tetap kokoh dalam membela sistem demokrasi. Sebut saja salah satunya adalah Ali Abdur Raziq, seorang sarjana mesir yang menyatakan bahwa Islam tidak memberikan ketentuan khusus dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Sehingga, suatu negara diperkenanka untuk membuat sistem pemerintahannya masing-masing.

Dari berbagai kontroversi yang ada, lantas bagaimana posisi pesantren dalam menanggapi iklim pemerintahan demokrasi khususnya di Indonesia?. Kita telah tahu, bahwa pesantren merupakan institusi keagamaan yang tentu dalam segala bentuk tindakannya mempunyai landasan teoritis yang ilmiyah. Hal ini lantaran dipicu oleh peran para kiai yang sudah tidak diragukan lagi dalam memahami ilmu agama. Namun, jika kita melirik pada sejarah pergulatan politik yang terjadi di Indonesia, mulai dari orde lama, orde baru bahkan sampai masa reformasi, pesantren merupakan lembaga yang responsip terhadap hangatnya iklim politik di Indonesia. Kita lihat, sejak masa kemerdekaan, pesantren tidak hanya respon dalam sistem demokrasi di Indonesia, melaikan juga ikut andil dalam mewarnai pergulatan politik di Indonesia. Seperti pernah membentuk partai politik semisal Masyumi, NU, dan Perti.

Jika kita memantau khasanah Islam klasik, maka akan kita temukan bahwa perpolitikan sangat diharamkan. Tidak hanya itu, kalangan Islam yang mengikuti aliran wabisme, secara tegas menyatakan bahwa politik adalah bid’ah yang kaitannya adalah sesat. Sebagaimana interpretasi kaum wahabi yang mengklaim bahwa semua bid’ah sesat dan pada akhirnya pasti masuk neraka. Lain seperti intrepratsi kalangan sunni, yang masih memerinci istilah bid’ah dalam hadis nabi tersebut. Yakni, Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah.

Sejak Indonesia merdeka, kontrubusi pesantren dalam iklmi demokrasi Indonesia sangat nampak. Sebut saja seperti peran kiai dalam membentuk rancangan Pancasila. Salah satu diantara anggotanya adalah KH. Wahid Hasyim yang merupakan putra dari pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahldatul Ulama’, KH. Hasyim Asy’ari. Ia membenarkan sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Tidak hanya itu, berlanjut pada masa berikutya, pesantren memberikan sumbangsing dalam perpolitikan yang kokoh. Awalnya, semua pesantren terhimpun dalam partai Islam semisal NU, Masyumi dan Perti. Namun, karena semakin sadar dan mengertinya pergulatan politik di Indonesia, para kiai ataupun tokoh Islam melebarkan sayapnya pada partai nasioanal seperti Golkar, atau patai nasional lainnya.

Kini, dalam dunia pesantren sendiri telah banyak diajarkan tentang sistem demokrasi di Indonesia. Baik secara teoritis dengan memberikan pelajaran kewarganegaraan pada santri, maupun secara praktis dengan memberikan pembelajaran dalam pemilihan ketua, pembentukan organisasi otonom, melakukan sidang-sidang bahkan juga mengatur sebuah siasat dalam merebut sebuat kekuasaan. Namun, di pesantren, iklim seperti ini hanya sebagai wahana miniatur yang orientasinya adalah belajar. Dalam artian, tetap senantiasa menjadikan sosok kiai sebagai tokoh sentral yang mempunyai kekuatan hukum final. Akhirnya, dengan berbagai macam pembelajaran yang diterapkan di pesantren, santri tidak melulu berperan sebagai kiai atau tokoh masyarakat, melainkan juga telah terbukti banyak santri yang telah berkiprah menjadi tokoh politik, Dewan Perwakilan Rakyat, wartawan, bahkan juga tak jarang yang telah menjadi kepala daerah.

Dengan demikian, maka pesantren selain tetap konsisten dalam kepentinngan institionalnya, juga siap dalam menerjemahkan nilai-nilai manusia modern. Termasuk dalam memaknai arti demokrasi itu sendiri. Disamping itu, lantaran memang pesantren merupakan lemabaga pendidikan Islam tertua yang bertanggung jawab untuk menjelaskan Islam dalam kegandrungan manusia modern saat ini. Selain itu, tidak harus serta merta menjadi tanggung utama pesantren, melainkan juga umat Islam seluruhnya dalam mengartikan dan menyadari arti demokrasi itu sendiri.  

Sumber Bacaan :
Pesantren, Pendidikan Kewarganegaraan dan Demokrasi, 2009.
Mujail Qomar. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, 2002. 

2 comments:

  1. Replies
    1. terasa kaku masihan tulisannya geh, perlu dipijet biar lemes tulisannya.

      Delete