Tuesday 15 March 2016

Kulturisasi Ijma' Sebagai Sumber Hukum



Dalam kehidupan sosial masyarakat khususnya, kini telah tergantung pada kesepakatan suatu organisasi atau kelompok tertentu. Sehingga menghasilkan sebuah kesepakatan dan bahkan sampai menjadi sebuah ideologi. Dengan demikian, peran  kesepakatan menjadi hal yang urgen untuk dipertimbangkan dari segala aspek. Apapun itu bentuknya. Dan tentunya secara subyektif yang mempunyai peran penting dalam hal tersebut adalah pelaku kesepakatan. Seperti apa bentuk hukum yang dihasilkan, tergantung bagaimana siklus yang terjadi di meja kesepakatan. 

Kesepakatan, jika ditinjau dalam kajian ilmu Ushul Fiqh disebut dengan istilah Ijma'. Dulu, ijma' merupakan konsensus dari para mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Yang pada akhirnya akan membuahkan  hukum yang belum jelas diterangkan dalam nash Al-Qur'an dan Hadits. Dan statemen masing-masing mujtahid tentu tidak akan lepas dari pengaruh sosio-kulturnya. Sehingga wajar, ketika dalam suatu permasalah para mujtahid terdapat kontroversi dalam merumuskan sebuah hukum. 

Al-Amidi menyebutkan bahwa Ijma' merupakan kesepakan Ahlu Halli wal aqdi dari ummat Muhammad dalam membahas sebuah hukum tertentu. Sehingga dalam forum tersebut hanya melibatkan orang-orang yang memang ahli dalam bidang ilmu fiqh tanpa melibatkan orang awam. Hal ini terus berkembang dengan sistem yang berbeda-beda sampai saat ini. Kini kita kenal dengan kesepakatan para petinggi negara, organisasi keagamaan, LBM NU. Tajdid Muhammadiyyah dan lain sebagainya. Tentu yang berada di dalamnya merupakan orang-orang yang memang ahli dalam mengurai dan membandingkan sebuah statamen para ulama', terlebih dalam memahami Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber segala bentuk hukum. 

Namun demikian, pelaku ijma' seharusnya bijak dalam merumuskan sebuah kesepakatan atau hukum terntu. Sebab, konsensus para pelaku ijma' akan menjadi sumber hukum dan pedoman hidup terlebih bagi orang-orang awam. KH. Abdurrahman Wahid menekankan bahwa kebebesan dalam bicara dalam sebuah kesepakan harus benar-benar dimanfaatkan. Artinya, konsensus yang telah dibuat dapat menjujung tinggi hak dan kewajiban sebuah bangsa. Sehingga keputusan tidak hanya diambil dari suara terbanyak, namun idealnya adalah harus mempertimbangkan dalam segala aspek sosial dan budaya setempat. 

Dalam konteks negara Indonesia, kita telah kenal dengan para pendiri negara yang telah menghapus ketentuan Syari'at Islam sebagai ideologi negara. Jelas, kesepakatan ini bukan untuk mengesampingkan Islam malah justru sebenarnya untuk melindungi Islam itu sendiri. Kesepakatan ini tentu untuk mengangkat hak dan kewajiban bangsa mengingat di Indonesia terdiri dari berbagai macam penganut agama. Dan ini menojolkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 

Atas dasar ini, praktek forum kesepakatan semisal sidang DPR, MPR atau majelis lain yang mengatasnamakan perwakilan rakyat, selayaknya harus meniru bagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahuluannya. Tidak hanya itu, lembaga yang bertugas untuk menentukan hukum dalam agama Islam seperti MUI juga harus berangkat dari sebuah kesepakatan yang tidak memihak. Dalam artian, selama tidak ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadits, produk hukum selayaknya tidak lepas dari maslahah umat. 





4 comments: