Oleh : Abdurrofik
Dunia pendidikan yang merupakan lembaga
bertujuan untuk mencetak kader bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia, harus
memperhatikan dari berbagai aspek potensi yang dimiliki seluruh sivitas akademika.
Kualitas manusia sebagai makhluk yang menjadi penerus pendahulunya tergantung
bagaimana menjalani siklus pendidikannya. Ketika dalam dunia pendidikan
tercipta suasana yang tenang, religius, prosedural serta beretika yang baik,
maka dapat dipastikan ilmu yang diperoleh akan menjadi pengaruh revolusi ke
peradaban yang lebih baik. Namun sebaliknya, jika dalam dunia pendidikan
terjadi suanan yang carut-marut dan hanya mengedepankan ketajaman akal, maka
jangan heran jika output dari pendidikan tersebut menjadi penerus bangsa
yang pintar tapi selalu dihujani oleh masalah, seperti para koruptor yang ada
pada saat ini.
Dalam membentuk kepribadian manusia
yang baik, salah satu yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana tingkat
spiritualitas seorang. Tidak jarang orang yang telah sukses menggapai karir
melejit setinggi langit, namun kehidupannya penuh dengan masalah. Kegelisah,
kesenjangan sosial, kecemasan bahkan rasa ketakutan senantiasa menghantui. Jika
ditelususi kemungkinan besar orang yang seperti itu adalah karena telah haus
akan spiritualitas. Sehingga ilmu yang dimilkinya tidak dapat menjadi bahan
pengendali gerak aktivitasnya, malah justru membawanya ke jurang kehinaan.
Ketika kita kembalikan pada dunia pendidikan, saat ini tindak kriminalitas
sebagian besar dilakukan oleh peserta didik. Berita tawuran, pelaku asusila,
pecandu narkoba bahkan pembunuhan yang
dimotori oleh siswa selalu menjadi warna-wani media masa. Ini menjadi gambaran
bahwa dunia pendidikan saat ini masih lebih memprioritaskan ketajaman akal,
padahal seharusnya masih ada potensi lain yang harus senantiasa dikembangkan
yakni emosional dan spiritual.
Al-Ghozali dalam karya monumentalnya Ma'arijul Quds, menjelaskan bahwa spiritualitas merupakan potensi kejiwaan yang ada dalam diri manusia
untuk dikembangkan dan dioptimalkan. Al-Ghozali menukil hadits nabi yang
menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Atas dasar hadits ini
Al-Ghozali mencoba mengklarifikasi jiwa yang ada pada manusia. Dalam diri
manusia ada potensi yang dapat mengantarkan seorang menuju pada kebahagiaan,
diataranya adalah potensi berfikir, marah dan syahwat. Kebahagian seorang
ditentukan oleh bagaimana ia mengendalikan tiga potensi ini. Artinya, ketika
seorang dapat mengendalikan potensi ini dengan baik maka tentu prinsip serta
tujuan hidup seorang akan dapat terarah dan sesuai dengan kode etik yang ada.
Ketika dikaitkan dengan dunia
pendidikan, Al-Ghozali mejelaskan bahwa pendidikan yang benar adalah wahana
untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tidak mengecualikan dunia pendidikan itu
yang background-nya pendalaman ilmu dunia atau ilmu umum. Ilmu umum
ketika senantiasa diimbangi dengan perenungan tentang ke-Tuhanan maka juga akan
mengantarkan seorang pada keimanan yang lebih kuat. Seperti mempelajari ilmu
Geografi misalnya, ketika diimbangi dengan perenungan tentang KeTuhanan maka
pencari ilmu akan berfikir begitu besar ciptaan Tuhan yang telah menciptakan
planet-planet dan benda langit lainnya. Jika kepribadian seorang telah diwarnai
dengan ke-Tuhanan maka pasti juga akan berpengaruh terhapap gerak aktifitas
sehari-harinya. Dengan demikian maka apabila seorang yang berilmu namun tidak
mendapatkan cahaya dari Tuhan, maka ilmu tersebut akan tampak gelap artinya
tidak akan tampak pada gerak aktifitasnya.
Dengan spiritualitas pula, seorang
akam mampu menentukan hakikat hidupnya. Dan menyatakan bahwa kebahagian,
ketenangan dan ketentraman yang nyata adalah ketika dalam hatinya selalu
memancar nama Tuhan, terlebih apabila seorang dapat mengetahui Allah secara
hakiki (al-Ma’rifat Billah). Lebih dari pada itu, tingginya
spiritualitas tidak hanya sejauh mana hubungan seorang dengan sang kholiknya,
malainkan juga bagaimana kehidupan sosial dengan sesama. Pengalaman spiritual
dapat juga dilakukan dengan cara menjalani kehidupan sosial dengan baik,
seperti ada perasaan empati pada orang lebih tidak mampu, peka, dan bijaksana
dalam mengambil sebuah keputusan.
Dengan ini jelas, dunia pendidikan
yang selayaknya harus dijunjung tinggi dan merupakan wahana yang mulia jangan
sampai mengesampingkan peran spiritualitas. Penulis membayangkan seandainya
dalam pendidikan itu berjalan seimbang antara proyeksi intelektual dan
spiritual, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan itu akan mewujudkan tujuan
pendidikan yang telah diproklamirkan oleh pemerintah yakni membentuk generasi
yang cerdas, kreatif serta Iman kepada Allah swt.
Disarikan dari kitab Ma'rijul Quds dan, Ihya'ulumiddin Dan Mizanu al-Amal.
kalau baca postingan ini jadi teringat sama ayat yang menjadi standar kurikulum pendidikan pesantren. gimana itu bunyinya?
ReplyDelete