This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday 31 March 2016

Bernostalgia Tidak Cakap Bahasa Inggris

Di sela-sela kegiatan, tidak sengaja saya membaca koran Jawa Pos edisi Kamis, 31 Maret 2016. Pandangan pertama pada koran tersebut, saya menyoroti gambar seorang dosen memakai baju pengukuhan berwarna hitam. Saya menduga acara tersebut acara wisuda untuk mahasiswa. Dan ini yang membuat saya tertarik untuk membaca. Lantaran memang saya juga akan melaksanakan acara pengukuhan sebagai wisudawan strata 1 hari Sabtu besok. 
Namun, setelah saya membaca, dugaan saya meleset. Acara tersebut ternyata acara pengukuhan guru besar di Universitas Islam Negeri Malang. Dijelaskan dalam berita tersebut, dosen yang mendapat pengukuhan itu bernama Prof. Dr. H. Junaidi Mistar. Ia berasal dari Kabupaten Lumajang. Kabupaten yang juga merupakan tempat kelahiran saya. Kagum. Bangga. Wajar, karena memang kecenderungan tanah kelahiran pasti ada. 

Baiklah, sebenarnya yang membuat saya merenung bernostalgia adalah setelah saya membaca berita yang bertajuk "Pembelajaran Bahasa Inggris Tak Efektif" itu  sampai tuntas. Prof. Dr. H. Junaidi Mistar yang telah diangkat sebagai guru besar bidang Ilmu Pendidikan Inggris itu memberikan pengarahan dalam sambutannya. Ia menyebutkan bahwa pendidikan bahasa Inggris saat ini masih bersifat konvensnional. Dan ia selalu merasa terusik oleh masalah-masalah yang sudah dianggap biasa ini. Terbukti saat ini siswa belajar bahasa Inggri mulai dari SD sampai SMA yang kurang lebih selama 9 tahun sebagai besar masih belum juga cakap dalam berbahasa Inggris. Dan ia membuat tesis semacam itu bukan hanya berasumsi melainkan ia telah melakukan beberapa penelitian. dan hasilnya memang begitu. Sehingga ini perlu trobosan dalam membentuk strategi baru. Salah satu menurutnya adalah seperti membentuk strategi ketertarikan siswa dalam memahami kosakata dan lain sebagainya yang pada intinya adalah siswa dituntut untuk cakapa dalam berbahasa Inggris, artinya tidak hanya dapat mengerjakan soal. 

Mengamati berita tersebut, saya langsung merenung. Dan tak lama dari itu, saya dengan tanpa ragu  mengiyakan tesis tersebut. Karena sejauh saya alami, sewaktu saya masih sekolah ditingkat Dasar, Menengah dan Atas ternyata masih belum juga dapat berkomunikasi dengan orang asing. Dan ini juga terjadi pada sebagian besar dari teman-teman saya. 

Kemudian, saya berusaha mencari perbandingan. Dan ternyata, ada salah satu dari teman saya yang dulunya hanya mengerti kalimat I Love You,namun setelah ia mengikuti kursus selama 1 tahun, dan memang budayanya berbahasa Inggris ternyata ia sekarang dapat dengan santai dan cakap berbicara dengan orang asing. Tidak hanya itu, kini ia telah membuka tempat kursus  Bahasa Inggris sendiri dan pesertanya juga dapat dibilang banyak. 

Mari kita bayangkan, selisih antara 1 tahun dengan 9 tahun sudah pasti tidak sebanding. Oke, mungkin ada yang menanggapi bahwa pendidikan di sekolah yang diajarkan tidak hanya Bahasa Inggris, namun banyak sekali pelajaran yang harus disampaikan kepada peserta didik, seperti Matematika, IPA, IPS dan lain sebagainya. Namun, jangka waktu 9 tahun apa belum cukup untuk menyeimbangkan dengan kursus bahasa Inggris yang hanya ditempuh 1 tahun tersebut? Saya kira sangat cukup sekali. Bahkan bisa jadi lebih. Hanya saja bagaimana metode dan strategi yang harus dilakukan dalam belajar-mengajar di setiap tingkatan.  Selamat merenung! 

Tuesday 15 March 2016

Kulturisasi Ijma' Sebagai Sumber Hukum



Dalam kehidupan sosial masyarakat khususnya, kini telah tergantung pada kesepakatan suatu organisasi atau kelompok tertentu. Sehingga menghasilkan sebuah kesepakatan dan bahkan sampai menjadi sebuah ideologi. Dengan demikian, peran  kesepakatan menjadi hal yang urgen untuk dipertimbangkan dari segala aspek. Apapun itu bentuknya. Dan tentunya secara subyektif yang mempunyai peran penting dalam hal tersebut adalah pelaku kesepakatan. Seperti apa bentuk hukum yang dihasilkan, tergantung bagaimana siklus yang terjadi di meja kesepakatan. 

Kesepakatan, jika ditinjau dalam kajian ilmu Ushul Fiqh disebut dengan istilah Ijma'. Dulu, ijma' merupakan konsensus dari para mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Yang pada akhirnya akan membuahkan  hukum yang belum jelas diterangkan dalam nash Al-Qur'an dan Hadits. Dan statemen masing-masing mujtahid tentu tidak akan lepas dari pengaruh sosio-kulturnya. Sehingga wajar, ketika dalam suatu permasalah para mujtahid terdapat kontroversi dalam merumuskan sebuah hukum. 

Al-Amidi menyebutkan bahwa Ijma' merupakan kesepakan Ahlu Halli wal aqdi dari ummat Muhammad dalam membahas sebuah hukum tertentu. Sehingga dalam forum tersebut hanya melibatkan orang-orang yang memang ahli dalam bidang ilmu fiqh tanpa melibatkan orang awam. Hal ini terus berkembang dengan sistem yang berbeda-beda sampai saat ini. Kini kita kenal dengan kesepakatan para petinggi negara, organisasi keagamaan, LBM NU. Tajdid Muhammadiyyah dan lain sebagainya. Tentu yang berada di dalamnya merupakan orang-orang yang memang ahli dalam mengurai dan membandingkan sebuah statamen para ulama', terlebih dalam memahami Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber segala bentuk hukum. 

Namun demikian, pelaku ijma' seharusnya bijak dalam merumuskan sebuah kesepakatan atau hukum terntu. Sebab, konsensus para pelaku ijma' akan menjadi sumber hukum dan pedoman hidup terlebih bagi orang-orang awam. KH. Abdurrahman Wahid menekankan bahwa kebebesan dalam bicara dalam sebuah kesepakan harus benar-benar dimanfaatkan. Artinya, konsensus yang telah dibuat dapat menjujung tinggi hak dan kewajiban sebuah bangsa. Sehingga keputusan tidak hanya diambil dari suara terbanyak, namun idealnya adalah harus mempertimbangkan dalam segala aspek sosial dan budaya setempat. 

Dalam konteks negara Indonesia, kita telah kenal dengan para pendiri negara yang telah menghapus ketentuan Syari'at Islam sebagai ideologi negara. Jelas, kesepakatan ini bukan untuk mengesampingkan Islam malah justru sebenarnya untuk melindungi Islam itu sendiri. Kesepakatan ini tentu untuk mengangkat hak dan kewajiban bangsa mengingat di Indonesia terdiri dari berbagai macam penganut agama. Dan ini menojolkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 

Atas dasar ini, praktek forum kesepakatan semisal sidang DPR, MPR atau majelis lain yang mengatasnamakan perwakilan rakyat, selayaknya harus meniru bagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahuluannya. Tidak hanya itu, lembaga yang bertugas untuk menentukan hukum dalam agama Islam seperti MUI juga harus berangkat dari sebuah kesepakatan yang tidak memihak. Dalam artian, selama tidak ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadits, produk hukum selayaknya tidak lepas dari maslahah umat.