This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Thursday 22 September 2016

Karena Semua Dapat Dijadikan Guru

Semenjak saya selesai kuliah, kegiatan sedikit berkurang. Satu sisi saya senang dengan kondisi begini. Di mana saya dapat istirahat, yang dulu hampir tak mempunyai waktu. Minimal dapat buat merenung dan mengevaluasi diri. Namun, bukan tidak ada kegiatan sama sekali. Masih ada tugas yang perlu saya lakukan. Seperti mengajar dan mengemban sebuah jabatan.

Di sisi lain, kondisi begini ternyata melemahkan produktifitas. Perlu diakui ternyata saya tak seproduktif di tahun yang lalu. Entah, apa mungkin ini sebuah fase pertumbuhan. Ataukah mungkin kurang tantangan. Atau memang karena malas. Ah, harus saya akui bahwa ini karena malas. Ya, malas.

Saya bersyukur ketika tadi teman-teman LDK mengajak saya mengikuti diskusi. Setelah saya bercengkrama dengan teman-teman UKM yang mempunyai visi dakwah Islam itu, saya teringat saat saya masih kuliah semester satu. Di mana waktu itu semangat jiwa masih berkobar. Terlebih dalam berorganisasi. Bahkan, sangking semangatnya seakan ingin menguasai dunia. Acara diskusi tadi dapat membuka cakrawala berpikir saya. Terlebih juga dapat menghangatkan jiwa semangat saya. Walaupun di ranah yang berbeda.

Sehingga, saya dapat mengambil kesimpulan bahwa semua dapat dijadikan guru. Sekalipun itu lebih muda. Jika itu baik, mengapa tidak. Jiwa muda dapat menuai semangat yang membara. Maka, saya harus berguru pada suasana semangat itu.

Saturday 14 May 2016

Antara Pesantren Dan Demokrasi






Sebagaimana yang kita pahami bahwa demokrasi merupakan sistem negara yang menitik beratkan kekuasaan di tangan rakyat.  Istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani dari kata demokrata yang berarti kekuasaan di tangan  rakyat. Dengan demikian, maka rakyat mempunyai peran penting dalam menentukan kemajuan sebuah negara, lantaran pemimpin negara dipilih langsung oleh rakyat.  Sehingga, ratyatlah yang mempunyai kedaulatan tertinggi.

Kalangan agama Islam di belahan dunia, terlebih di kawasan Timur Tengah, sistem demokrasi menuai sorotan yang begitu tajam. Selain memberikan alasan ideologis, mereka menyatakan bahwa demokrasi merupakan produk orang barat yang tentunya didominasi oleh kalangan orang kafir. Hal ini menurut mereka dapat mengakibatkan fatal ketika pemimpin di pegang oleh orang yang bukan ahlinya. Karena, dalam demokrasi semua orang atau rakyat dapat menjadi pemimpin. Sebagaimana dalam hadits nabi menyatakan bahwa ketika sebuah negara dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya. Namun, ada cendikiawan muslim yang tetap kokoh dalam membela sistem demokrasi. Sebut saja salah satunya adalah Ali Abdur Raziq, seorang sarjana mesir yang menyatakan bahwa Islam tidak memberikan ketentuan khusus dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Sehingga, suatu negara diperkenanka untuk membuat sistem pemerintahannya masing-masing.

Dari berbagai kontroversi yang ada, lantas bagaimana posisi pesantren dalam menanggapi iklim pemerintahan demokrasi khususnya di Indonesia?. Kita telah tahu, bahwa pesantren merupakan institusi keagamaan yang tentu dalam segala bentuk tindakannya mempunyai landasan teoritis yang ilmiyah. Hal ini lantaran dipicu oleh peran para kiai yang sudah tidak diragukan lagi dalam memahami ilmu agama. Namun, jika kita melirik pada sejarah pergulatan politik yang terjadi di Indonesia, mulai dari orde lama, orde baru bahkan sampai masa reformasi, pesantren merupakan lembaga yang responsip terhadap hangatnya iklim politik di Indonesia. Kita lihat, sejak masa kemerdekaan, pesantren tidak hanya respon dalam sistem demokrasi di Indonesia, melaikan juga ikut andil dalam mewarnai pergulatan politik di Indonesia. Seperti pernah membentuk partai politik semisal Masyumi, NU, dan Perti.

Jika kita memantau khasanah Islam klasik, maka akan kita temukan bahwa perpolitikan sangat diharamkan. Tidak hanya itu, kalangan Islam yang mengikuti aliran wabisme, secara tegas menyatakan bahwa politik adalah bid’ah yang kaitannya adalah sesat. Sebagaimana interpretasi kaum wahabi yang mengklaim bahwa semua bid’ah sesat dan pada akhirnya pasti masuk neraka. Lain seperti intrepratsi kalangan sunni, yang masih memerinci istilah bid’ah dalam hadis nabi tersebut. Yakni, Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah.

Sejak Indonesia merdeka, kontrubusi pesantren dalam iklmi demokrasi Indonesia sangat nampak. Sebut saja seperti peran kiai dalam membentuk rancangan Pancasila. Salah satu diantara anggotanya adalah KH. Wahid Hasyim yang merupakan putra dari pendiri organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, Nahldatul Ulama’, KH. Hasyim Asy’ari. Ia membenarkan sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Tidak hanya itu, berlanjut pada masa berikutya, pesantren memberikan sumbangsing dalam perpolitikan yang kokoh. Awalnya, semua pesantren terhimpun dalam partai Islam semisal NU, Masyumi dan Perti. Namun, karena semakin sadar dan mengertinya pergulatan politik di Indonesia, para kiai ataupun tokoh Islam melebarkan sayapnya pada partai nasioanal seperti Golkar, atau patai nasional lainnya.

Kini, dalam dunia pesantren sendiri telah banyak diajarkan tentang sistem demokrasi di Indonesia. Baik secara teoritis dengan memberikan pelajaran kewarganegaraan pada santri, maupun secara praktis dengan memberikan pembelajaran dalam pemilihan ketua, pembentukan organisasi otonom, melakukan sidang-sidang bahkan juga mengatur sebuah siasat dalam merebut sebuat kekuasaan. Namun, di pesantren, iklim seperti ini hanya sebagai wahana miniatur yang orientasinya adalah belajar. Dalam artian, tetap senantiasa menjadikan sosok kiai sebagai tokoh sentral yang mempunyai kekuatan hukum final. Akhirnya, dengan berbagai macam pembelajaran yang diterapkan di pesantren, santri tidak melulu berperan sebagai kiai atau tokoh masyarakat, melainkan juga telah terbukti banyak santri yang telah berkiprah menjadi tokoh politik, Dewan Perwakilan Rakyat, wartawan, bahkan juga tak jarang yang telah menjadi kepala daerah.

Dengan demikian, maka pesantren selain tetap konsisten dalam kepentinngan institionalnya, juga siap dalam menerjemahkan nilai-nilai manusia modern. Termasuk dalam memaknai arti demokrasi itu sendiri. Disamping itu, lantaran memang pesantren merupakan lemabaga pendidikan Islam tertua yang bertanggung jawab untuk menjelaskan Islam dalam kegandrungan manusia modern saat ini. Selain itu, tidak harus serta merta menjadi tanggung utama pesantren, melainkan juga umat Islam seluruhnya dalam mengartikan dan menyadari arti demokrasi itu sendiri.  

Sumber Bacaan :
Pesantren, Pendidikan Kewarganegaraan dan Demokrasi, 2009.
Mujail Qomar. Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, 2002. 

Thursday 5 May 2016

Refleksi Peringatan Isro' Mi'roj

Peringatan Isro' Mi'roj kali ini membuat saya glabakan. Ya, glabakan tidak karuan saat memberikan materi tentang Refleksi Acara Isro' Mi'roj pada sebuah instansi pendidikan. Bukan karena pesertanya yang didominasi oleh perempuan, melaikan saat ada peserta bertanya tentang ayat:
إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
yang artinya kurang lebih begini :"sampai masjid Al-Aqsho yang telah kami berkahi”. Mungkin, inspirasi pertanyaan ini lantaran di awal penjelasan, saya menampilkan ayat tersebut. Peserta yang juga bagian dari panitia itu, tiba-tiba muncul dari luar ruangan dan mengacungkan jarinya. “Ustad tadi disebutkan, masjid Al-Aqsho katanya diberkahi di sekelilingnya, tapi mengapa sekarang sering terjadi peperangan?” saut siswi kelas XI itu saat sesi pertanyaan. Allamak, tak ada reaksi lain, kecuali saya menyeruput kopi sambil merenung jawaban. Ah, ya, itu tidak lain tidak bukan sebuah trik. “tak saya sangka anak tingkat SMA bisa bertanya seperti itu” guman saya. Akhirnya, dengan suara pelan saya menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan barokah itu adalah tambahnya kebaikan terutama dalam hal agama, seperti banyaknya rosul yang diangkat di daerah Palestina. Sehingga, peperangan yang ada saat ini tidak berpengaruh terhadap lemahnya ayat itu. Malah justru, dengan adanya peperangan akan banyak kebaikan dari sisi agamanya. Jawaban ini muncul dari otak saya, lantaran memang sudah sering mendengar penjelasan apa itu barokah.
Setelah acara usai, saya pun masih penasaran tentang ayat itu. Tak lama setelah menyantap makanan hasil berkat tadi, saya pun langsung menelusurinya. Dan akhirnya jawaban saya tidak melenceng begitu jauh. Begini, dalam tafsir kabir disebutkan:
( والذي باركنا حوله ) صفة مدح لإزالة اشتراط عارض ، وبركته بما خص به من الخيرات الدينية كالنبوة والشرائع والرسل الذين كانوا في ذلك القطر ونواحيه ونواديه ، والدنياوية من كثرة الأشجار والأنهار ، وطيب الأرض . وفي الحديث " أنه تعالى بارك فيما بين العريش إلى الفرات ، وخص فلسطين بالتقديس "
Dari pertanyaan ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “barokah” di sekeliling Palestina adalah kebaikan pertama yang sifatnya agama seperti banyaknya nabi yang diangkat menjadi rasul. Yang kedua, kebaikan dunia seperti ditumbuhi pepohonan dan dialiri air disekitarnya.
Sementara, pengertian barokah itu sendiri adalah;
البركة: هي الزيادة والنماء من حيث لا يوجد بالحس ظاهرا
 Barakah adalah bertambah yang sekiranya tidak diketahui secara lahiriyah.
Ya, sedikit saya merasakan ketenangan setelah membaca beberapa penjelasan tersebut.

    

Friday 29 April 2016

Terjebak Dalam Orasi Bisnis



Siang itu, suasana kantor menjadi geger setelah menerima sepucuk surat dari Kelompok Bimbingan Ibadah Haji KBIH ternama di Jawa Timur. Tak terkecuali saya, yang baru datang mengajar teman-teman santri. Dalam undangan tersebut dipaparkan untuk menghadiri pelatihan MUTAWIF (Pemandu Ibadah Umrah) yang langsung diselenggarakan oleh KBIH tersebut. Dan yang membuat saya dan teman-teman terkejut, adalah karena di bawah undangan itu tertera tulisan “Bagi 5 peserta terbaik, langsung mendapatkan tiket umrah gratis”. Ayo, siapa yang tidak terkejut dengan iming-iming ini?. Bayangan saya pun waktu itu sudah memakai baju putih separuh badan, dengan hati khusyuk mengelilingi Ka’bah di Makah. Ditambah, dapat berziarah ke makam Rasulullah. (Ah, sungguh terhipnotis imajinasi saya waktu itu. Dan entah hilang kemana nalar kritis saya).  Selain itu, acara ini ditempatkan di salah satu Hotel kota Malang. Hotel, bagi kalangan santri termasuk tempat yang istimewa, lantaran santri lebih sering berada di tempat tradisional tak ber-AC. Sehingga inilah salah satu yang membuat saya dan teman-teman tersedot untuk menghadiri acara tersebut. Tidak hanya itu, biasanya acara pelatihan yang pernah saya ikuti, selalu mendapatkan uang transport, (lumayan, itung-itung buat tambahan membeli sebungkus rokok). Saya yakin, perasaan saya ini tak jauh berebeda dengan perasaan teman-teman saya, sekalipun dengan bentuk imjinasi yang berbeda. 

Malamnya, sebelum hari pelaksanaan acara itu tiba, saya terus membayangkan dan mengangan-angan materi ibadah umroh-haji yang nyaris lupa semua, lantaran tidak pernah saya pelajari mulai dulu waktu sekolah Madrasah Diniyah.  Bayangan saya, acara tersebut sebuah kompetisi. Jadi butuh persiapan matang. Lagi-lagi hanya meraba-raba bayangan optimis mendapatkan bonus umroh gratis. Tak sedikitpun menalar kritis status penyelenggaraan acara tersebut. Dan tujuan acara itu diselenggarakan.
**********

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Cuaca cerah, seakan memberi semangat atas rasa optimis saya (umrah gratis, hehe). Kemudian dengan segala persiapan, saya dan lima teman saya berangkat mengendarai sepeda motor. Salip-menyalip seperti ajang kompetisi balap liar terjadi di sepanjang jalan. Dan akhirnya tibalah di tempat hotel tersebut dengan perasaan terhormat. Sungguh hati-hati kami berjalan. Khawatir ada langkah yang salah. Atau salah masuk ruangan. Sehingga, takut dikira orang desa yang tak pernah masuk kota (padahal memang iya, heh).  Kemudian setelah sampai di ruang resepsionis,Petugas hotel menyambut dengan semunyan manis. Dan mempersilahkan untuk menuju lantai III (Karena, seingat saya dalam undangannya memang di lantai III).

Seperti acara pelatihan pada umumnya, semua perserta wajib mengisi daftar hadir yang telah disediakan oleh panitia. Termasuk saya dan teman-teman. Setelah menerima materi pelatihan, saya dan teman-teman duduk serta siap menyimak pelatihan tersebut. dan bayangan saya masih menggumpal mendapatkan umrah gratis. Dan ingin saya urai dalam kompetisi ini.

Acara pun di mulai, dengan rangkaian pembukaan, kalam wahyu ilahi dan sambutan-sambutan. Nah, selanjutnya akan memasuki acara inti. Tutornya pun ternyata pemilik atau direktur KBIH tersebut. Dan disitulah nalar kritis saya mulai orbit. Bagaimana tidak, tutor pelatihan yang biasa saya ikuti adalah orang indepedent yang ahli dalam bidangnya.  Tapi mengapa acara ini tidak?. Ah, sayapun berusaha melenyapkan nalar itu. Intinya bagaimana caranya saya bisa berkompetisi menjadi peserta terbaik, sehingga mendapatkan umroh gratis.

Dengan berbagai macam materi yang disampaikan, sang tutor  berorasi dengah penuh semangat. Sampai urat lehernya tampak menonjol. Awalnya, materi yang disampaika memang mendidik. Menjelaskan bagaimana menjadi pemandu umroh (Tour Leader) yang baik, apa saja yang perlu dipersiapkan, tantangan-tantangan ketika menjadi pemandu, bahkan juga mengajari doa-doa ketika berangkat umroh dan haji. Sungguh mendidik bukan?. Tapi, perasaan saya tetap menunggu kapan kompetisi peserta terbaik itu dimulai (umroh gratis kawan).

Acara istirahat pun tiba, bertanda sesi pertama usai. Saya dan teman-teman  masih hanya mendapatkan ilmu tentang umrah. Makan siang ditunda setelah sholat. Padahal, perut sudah mulai koar-koar seperti mahasiswa berdemo menuntut pemimpin mensejahterkan rakyatnya. Terpaksa saya dan teman-teman, mencari mushollah yang jauhnya hapir setengah kilo meter. Dan kamipun melaksanakan sholat dhuhur di masjid Jami’ Kota Malang yang jaraknya memang tidak begitu jauh dengan lokasi pelatihan itu.

Dengan hati tenang, tentram, lantaran sudah melaksanakan sholat, di tengah panas dan ramainya hiruk-pikuk perkotaan, kami menuju ruang makan. Dan peserta lain ternyata sudah banyak yang mendahului. Akhirnya,  kami ber-enam bergilir mengambil nasi serta ikanya. Lagi-lagi dengan tingkah yang penuh hati-hati. Kemudian, setelah kami menyantap makanan mewah ala Restoran itu, kami memasuki ruangan dan duduk di tempat semula. Sementara saya meyakini kalau acara setelah ini pasti kompetisinya.

Tutor telah berada di depan para peserta yang cukup banyak itu, hingga ada peserta yang tak mendapatkan kursi sebelum panitia mencari kursi cadangan. Sesi kedua di mulai. Tutornya pun bukan orang lain. Hanya materinya yang tidak sama dari sesi pertama. Materi bisnis. Ya, sesi kedua berisi tentang bagaimana menjadi pembisnis KBIH,  akumulasi jama’ah umroh dan haji berikut laba yang dapat diperoleh, bahkan juga menjelaskan bisnis travel jama’ah haji. Saya mulai curiga ketika sang tutor membahas masalah bisnis. Pada akhir penjelasannya, ia menjelaskan begini: “ada beberapa bonus yang bisa anda dapat di KBIH “arofahmina” ini, diataranya adalah ketika anda dapat membawa 10 orang jama’ah ke KBIH saya ini, maka anda mendapatkan 1 tiket umroh gratis”. Waw, setelah saya mendengarkan ungkapan ini, rasa curiga semakin kuat. Bagaimana tidak, sepuluh orang jama’ah jika laba setiap jama’ah 5 juta misalnya, maka jumlah laba yang didapat adalah 50 juta. Sementara biaya umroh satu orang, kisaran 20-30 juta. Duduk manis tampa susah payah 20 juta masuk kantong Cuma-Cuma. Orasi Bisnis kan?.

Akhirnya, sampai acara selesai, tidak juga diumumkan kapan seleksi itu di mulai. Dan di ujung orasinya, totur yang sekaligus sebagai pemiliki KBIH itu menyampaikan bahwa peserta terbaik akan diseleksi oleh panitia melalui biodata yang telah diisi oleh peserta diawal acara tadi. Allamak, ternyata hanya diseleksi melalui biodata. Pikir saya ada ujian ketat, baik pertanyaan teoritis maupun praktis. Karena hadiahnya Umroh Gratis. Halah, akhirnya saya berpikir mana mungkin seleksi melalui biodata bisa mendapat hadiah Umrah Gratis. Kemprus. Teman-teman saya pun juga menggerutu. Anehnya lagi, sertifikat yang dijanjikan di undangan ternyata disuruh diambil di kantor cabang KBIH dan bertempat di kota Malang. “ma’af ya para hadirin, sertifikat yang saya janjikan lupa tidak saya bawa.  Anda dapat mengambilnya di kantor kami”. Ungkap dia di akhir orasi bisnisnya. “halah, kemprus, mana bisa acara besar dengan banyak panitia bisa lupa, bilang aja agar peserta tahu kantornya, sehingga enak kalau ingin mendaftarkan jama’ah haji, gituu.”. Pikir saya.

Setelah acara selesai, satu-satunya yang dinantikan tak kunjung diumumkan. Uang transport. Ya, ternyata bayangan imajinasi saya dan teman-teman tak dapat dihidupkan. Jangankan imajinasi berbaju putih separuh badan guna melaksankan umroh, biaya untuk bensin pun hanya menjadi sebuah imajinasi yang tak tertulis. Sabar, sabar sabar,.


Dengan memaksakan hati untuk ikhlas, akhirnya, saya dan teman-teman pulang dengan tangan kosong. Dan kembali ke habitatnya masing-masing.  

Thursday 21 April 2016

Kartini: Sepak Terjang Dalam Pendidikan Islam





Nama Kartini, sudah tidak asing lagi dalam negeri pertiwi ini. Ia merupakan sosok perempuan yang berusaha mengangkat status perempuan yang awalnya hanya sebagai pendamping dan pelayan lelaki. Namun, atas propaganda yang dilakukan oleh Kartini banyak mengalami perubahan. Kartini sebenarnya termasuk keturunan ningrat, ia mengetahui betul bagaimana harus taat kepada adat di lingkungan foedalnya. Seperti kebiasan perempuan ketika telah berumur 12 tahun harus dipingit, ditempatkan di dinding-dinding kadipaten. Ia merasakan betul bagaimana sengsaranya wanita yang dipingit. Tidak dapat keluar untuk mengembangkan pengetahuannya. Padahal, Kartini mempunyai cita-cita besar dalam hidupnya, sehingga ia senantiasa berusa ingin lepas dari penjara adat yang mengikatnya. Sekalipun sebenarnya hal ini mempunyai resiko yang besar, yakni cela’an masyarakat.

Awalnya, Kartini merupakan orang selalu mengkritisi ajaran Islam. Ia meranggapan bahwa Islam terlalu mendiskriminasi kaum perempuan terlebih dalam hal poligami. Hal ini disebabkan oleh karena Kartini waktu itu masih belum mengenal Islam begitu jauh dan lebih memprioritas akal. Sehingga pada akhirnya mengakui akan Islam dan mendapatkan ketenangan dalam dirinya setelah mendengarkan ceramah dari pamannya sendiri yang sempat menjadi bupati Demak, Kiai Shaleh Darat. Kia Sholeh menjelaskan makna kandungan yang tedapat dalam surat Al-Fatihah. Sejak itulah, Kartini sangat taat dalam beragam bahkan sesekali mendengarkan surat-surat dalam Al-Qur,an ia menemukan nuansa Religi Islam berupa tasawuf, teologi dan syariat.

Dengan semakin lekatnya ajaran Islam dalam diri Kartini, lambat laun kartini juga tidak kalah dalam memperjuangkan kaum perempuan untuk bisa belajar Ilmu Agama Islam. Ia beranggapan bahwa di Islam banyak sekali tokoh dari perempuan. Bayangkan, di Zaman Nabi Muhammad saw, ada sekitar 700 sahabat dari kalangan perempuan yang berstatus menjadi perawi hadits. Tidak hanya itu, para sahabat nabi, dari kalangan perempuan juga ada yang ikut berperang, berdagang dan mengurus rumah tangga.

Seorang Kartini, gadis lugu yang lahir di tanah Jepara ini, sekalipun latar belakang pendidikannya dari negara Eropa. Namun, seluruh ilmunya hanya diresap dari bagian positifnya saja. Ia tetap setia dan taat terhadap kepercayaan Agamanya. Bahkan ia senantiasan terus ingin mengembangkan pendidikan agama Islam terkhusus untuk kalangan wanita.

Pendidikan yang ingin digagas oleh Kartini waktu itu, bukan untuk menyaingi kaum laki-laki sebagaimana yang terjadi di Eropa, melainkan kartini ingin mengambil sisi positis dalam mencerdaskan kaum wanita demi untuk mewujudkan bangsa dan rakyatnya. Ada beberapa gagasan pendidikan yang  ingin didiran oleh Kartni waktu itu, diantaranya adalah dengan membuat instansi pendidikan yang tidak terikat oleh paraturan Hindia Belanda. Dengan demikian, ia bebas dalam mengatur dan mengembangkan pendidikan sesuai dengan yang diinginkan. Seperti ia membuat pengajian di surau-surau,  dan Masjid.

Raden Ajeng Kartini, begitulah cara ia memporak-porandakan cara berpikir kaumnya dengan membuka cakrawala baru meyongsong kemajuan bangsa ini melalui kaum hawa. Kini, telah kita rasakan bahwa kaum wanita mempunyai paradigma dalam mengembangkan kemampuan dan bakatnya. Semoga ia selalu dikenang dan dilimpahkan atas perjuangannya. 

Selamat Hari Kartini!!!


Disarikan dari buku Kartin Nyantri. 

Tuesday 19 April 2016

Tafakkur Jalan Menuju Ma'rifat Billah





Judul Buku          : Al-Hikmah Fi Makhluqatillah
Pengarang          :  Al-Imam Abu Hamid Al-Ghazali
Penerbit              : Dar al-Ihya’ Al-Ulum-Bairut
Halaman              : 131
Peresensi            : Abdurrofik


Manusia sebagai makhluk yang telah diberikan anugrah untuk berfikir, sangat disayangkan jika melewatkan berpikir hal kecil di sekitarnya. Bahkan, terkadang manusia hanya sebagai pelaku komsumtif terhadap ciptaan tuhan lainya. Tanpa merenung dan berpikir bahwa di dalamnya terkandung hikmah dan kenikmatan yang patut disyukuri. Lebih dari pada itu, ciptaan Tuhan yang hampir setiap detik kita nikmati juga sebenarnya dapat menambahkan keimanan, jika senantiasa direnungkan dan diresapi.

Karya Al-Ghazali yang berjudul Al-Hikmah Fi Makhluqotillah ini dapat mengajak pembacanya menyadari dan merenung tentang hikmah dibalik ciptaan-ciptaan Tuhan. Karya Al-Ghazali yang terdiri dari 131 halaman ini, mengupas segala hikmah diciptakannya makhluk-makhluk Tuhan seperti Langit, Matahari, Bulan, Bintang, Udara, Bumi, Api, Manusia, Burung dan Hewan Melata lainnya.
Sebelum mengupas lebih jauh masalah hikmah penciptaan makhluk, dalam pendahuluannya, Al-Ghazali menjelaskan betapa pentingnya seorang yang telah diberikan akal untuk senantiasa berpikir. Bahkan, ia juga menjelaskan dengan perenungan semacam ini juga dapat mengantarkan seorang pada level al-Ma’rifah Billah (Mengetahui Allah secara nyata).

Sebagaimana ciri khas Al-Ghazali, yang selalu menganalogikan sebuah pernyataan dengan kejadian sekitar, dengan tujuan agar mudah dipahami, dalam karya ini juga tidak ketinggalan. Ia meyebutkan bahwa ketika kita berpikir tentang alam ini, maka ibarat seperti bangunan yang mana salah satu komponennya saling membutuhkan. Langit terhampar di atas, seperti atap rumah.  Bumi seperti lantainya. Bintang ibarat lampu yang dapat menerangi ruangan. Sementara menusia seperti pemilik rumahnya.

Dalam sub bab selanjutnya, Al-Ghazali menejelaskan hikmah diciptakannya matahari. Ia menjelaskan bahwa seandainya tidak ada matahari tentu siklus kehidupan manusia baik dalam ranah dunia maupun agama tidak akan terjadi. Bagaimana tidak, dengan matahari seorang dapat menikmati indahnya cahaya, melihat warna disekitarnya, dan tentu juga akan sulit manusia akan menjalani kehidupan dengan tanpa bantuan matahari. Belum lagi untuk tumbuhan, kita tahu bahwa setiap tumbuhan butuh cahaya ultraviolet untuk berfotosistesis. Dan cahaya itu tidak lain adalah cahaya matahari.

Dalam sub-sub bab selanjutnya, secara terperinci Al-Ghazali menjelaskan hikmah penciptaan makhluk tuhan seperti bintang, bulan, udara, manusia, bumi, api, hewan mamalia, bahkan sampai pada hewan kecil seperti semut pun tidak ketinggalan diuraikan. Yang pada intinya adalah bahwa sebagai mana Allah telah menyinggung dalam Al-Qur’an, tidak ada satupun makhluk yang diciptakan dengan sia-sia.


Dengan demikian, karya Al-Ghazali ini dapat mengantarkan kepada pembacanya untuk senantiasa bertafakkur dan merenung tentang keagungan ciptahan Tuhan. Sehingga, jika kita arahkan pada pendidikan umum yang ada saat ini, seperti pelajaran biologi yang menjelaskan berbagai macam tumbuhan baik dikotil maupun yang monokotil, dan juga menjelaskan organ tubuh manusia yang terdiri dari berbagai macam sel. Pelajaran geografi yangmenjelaskan berbagai macam unsur bumi serta iklim di dalamnya. Pelajaran fisika yang menjelaskan kandungan dan berat suata benda disekitar serta komponen antariksa dan pelajaran umum lain yang mengupas tentang kehidupan dunia jika dikaitkan dengan ilmu agama maka tentu juga akan menanbahkan keimanan. Dan bukan hal yang mustahil, jika pelajaran umum juga dapat dijadikan pelantara seorang untuk mencapai derajat Ma’rifat Billah. 

Thursday 31 March 2016

Bernostalgia Tidak Cakap Bahasa Inggris

Di sela-sela kegiatan, tidak sengaja saya membaca koran Jawa Pos edisi Kamis, 31 Maret 2016. Pandangan pertama pada koran tersebut, saya menyoroti gambar seorang dosen memakai baju pengukuhan berwarna hitam. Saya menduga acara tersebut acara wisuda untuk mahasiswa. Dan ini yang membuat saya tertarik untuk membaca. Lantaran memang saya juga akan melaksanakan acara pengukuhan sebagai wisudawan strata 1 hari Sabtu besok. 
Namun, setelah saya membaca, dugaan saya meleset. Acara tersebut ternyata acara pengukuhan guru besar di Universitas Islam Negeri Malang. Dijelaskan dalam berita tersebut, dosen yang mendapat pengukuhan itu bernama Prof. Dr. H. Junaidi Mistar. Ia berasal dari Kabupaten Lumajang. Kabupaten yang juga merupakan tempat kelahiran saya. Kagum. Bangga. Wajar, karena memang kecenderungan tanah kelahiran pasti ada. 

Baiklah, sebenarnya yang membuat saya merenung bernostalgia adalah setelah saya membaca berita yang bertajuk "Pembelajaran Bahasa Inggris Tak Efektif" itu  sampai tuntas. Prof. Dr. H. Junaidi Mistar yang telah diangkat sebagai guru besar bidang Ilmu Pendidikan Inggris itu memberikan pengarahan dalam sambutannya. Ia menyebutkan bahwa pendidikan bahasa Inggris saat ini masih bersifat konvensnional. Dan ia selalu merasa terusik oleh masalah-masalah yang sudah dianggap biasa ini. Terbukti saat ini siswa belajar bahasa Inggri mulai dari SD sampai SMA yang kurang lebih selama 9 tahun sebagai besar masih belum juga cakap dalam berbahasa Inggris. Dan ia membuat tesis semacam itu bukan hanya berasumsi melainkan ia telah melakukan beberapa penelitian. dan hasilnya memang begitu. Sehingga ini perlu trobosan dalam membentuk strategi baru. Salah satu menurutnya adalah seperti membentuk strategi ketertarikan siswa dalam memahami kosakata dan lain sebagainya yang pada intinya adalah siswa dituntut untuk cakapa dalam berbahasa Inggris, artinya tidak hanya dapat mengerjakan soal. 

Mengamati berita tersebut, saya langsung merenung. Dan tak lama dari itu, saya dengan tanpa ragu  mengiyakan tesis tersebut. Karena sejauh saya alami, sewaktu saya masih sekolah ditingkat Dasar, Menengah dan Atas ternyata masih belum juga dapat berkomunikasi dengan orang asing. Dan ini juga terjadi pada sebagian besar dari teman-teman saya. 

Kemudian, saya berusaha mencari perbandingan. Dan ternyata, ada salah satu dari teman saya yang dulunya hanya mengerti kalimat I Love You,namun setelah ia mengikuti kursus selama 1 tahun, dan memang budayanya berbahasa Inggris ternyata ia sekarang dapat dengan santai dan cakap berbicara dengan orang asing. Tidak hanya itu, kini ia telah membuka tempat kursus  Bahasa Inggris sendiri dan pesertanya juga dapat dibilang banyak. 

Mari kita bayangkan, selisih antara 1 tahun dengan 9 tahun sudah pasti tidak sebanding. Oke, mungkin ada yang menanggapi bahwa pendidikan di sekolah yang diajarkan tidak hanya Bahasa Inggris, namun banyak sekali pelajaran yang harus disampaikan kepada peserta didik, seperti Matematika, IPA, IPS dan lain sebagainya. Namun, jangka waktu 9 tahun apa belum cukup untuk menyeimbangkan dengan kursus bahasa Inggris yang hanya ditempuh 1 tahun tersebut? Saya kira sangat cukup sekali. Bahkan bisa jadi lebih. Hanya saja bagaimana metode dan strategi yang harus dilakukan dalam belajar-mengajar di setiap tingkatan.  Selamat merenung! 

Tuesday 15 March 2016

Kulturisasi Ijma' Sebagai Sumber Hukum



Dalam kehidupan sosial masyarakat khususnya, kini telah tergantung pada kesepakatan suatu organisasi atau kelompok tertentu. Sehingga menghasilkan sebuah kesepakatan dan bahkan sampai menjadi sebuah ideologi. Dengan demikian, peran  kesepakatan menjadi hal yang urgen untuk dipertimbangkan dari segala aspek. Apapun itu bentuknya. Dan tentunya secara subyektif yang mempunyai peran penting dalam hal tersebut adalah pelaku kesepakatan. Seperti apa bentuk hukum yang dihasilkan, tergantung bagaimana siklus yang terjadi di meja kesepakatan. 

Kesepakatan, jika ditinjau dalam kajian ilmu Ushul Fiqh disebut dengan istilah Ijma'. Dulu, ijma' merupakan konsensus dari para mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Yang pada akhirnya akan membuahkan  hukum yang belum jelas diterangkan dalam nash Al-Qur'an dan Hadits. Dan statemen masing-masing mujtahid tentu tidak akan lepas dari pengaruh sosio-kulturnya. Sehingga wajar, ketika dalam suatu permasalah para mujtahid terdapat kontroversi dalam merumuskan sebuah hukum. 

Al-Amidi menyebutkan bahwa Ijma' merupakan kesepakan Ahlu Halli wal aqdi dari ummat Muhammad dalam membahas sebuah hukum tertentu. Sehingga dalam forum tersebut hanya melibatkan orang-orang yang memang ahli dalam bidang ilmu fiqh tanpa melibatkan orang awam. Hal ini terus berkembang dengan sistem yang berbeda-beda sampai saat ini. Kini kita kenal dengan kesepakatan para petinggi negara, organisasi keagamaan, LBM NU. Tajdid Muhammadiyyah dan lain sebagainya. Tentu yang berada di dalamnya merupakan orang-orang yang memang ahli dalam mengurai dan membandingkan sebuah statamen para ulama', terlebih dalam memahami Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber segala bentuk hukum. 

Namun demikian, pelaku ijma' seharusnya bijak dalam merumuskan sebuah kesepakatan atau hukum terntu. Sebab, konsensus para pelaku ijma' akan menjadi sumber hukum dan pedoman hidup terlebih bagi orang-orang awam. KH. Abdurrahman Wahid menekankan bahwa kebebesan dalam bicara dalam sebuah kesepakan harus benar-benar dimanfaatkan. Artinya, konsensus yang telah dibuat dapat menjujung tinggi hak dan kewajiban sebuah bangsa. Sehingga keputusan tidak hanya diambil dari suara terbanyak, namun idealnya adalah harus mempertimbangkan dalam segala aspek sosial dan budaya setempat. 

Dalam konteks negara Indonesia, kita telah kenal dengan para pendiri negara yang telah menghapus ketentuan Syari'at Islam sebagai ideologi negara. Jelas, kesepakatan ini bukan untuk mengesampingkan Islam malah justru sebenarnya untuk melindungi Islam itu sendiri. Kesepakatan ini tentu untuk mengangkat hak dan kewajiban bangsa mengingat di Indonesia terdiri dari berbagai macam penganut agama. Dan ini menojolkan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. 

Atas dasar ini, praktek forum kesepakatan semisal sidang DPR, MPR atau majelis lain yang mengatasnamakan perwakilan rakyat, selayaknya harus meniru bagaimana yang telah dilakukan oleh para pendahuluannya. Tidak hanya itu, lembaga yang bertugas untuk menentukan hukum dalam agama Islam seperti MUI juga harus berangkat dari sebuah kesepakatan yang tidak memihak. Dalam artian, selama tidak ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadits, produk hukum selayaknya tidak lepas dari maslahah umat. 





Monday 15 February 2016

Membangun Integritas Pemimpim



وعن بن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلّم قال: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعيّتِهِ, والأميرُ راعٍ, والرّجُلُ راعٍ على أهلِ بيتِهِ, والمرأةُ رَاعِيَّةٌ على بيتِ زوجِها وَوَلَدِهِ, فكلّكم راعٍ وكلّكم مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ. (متفق عليه)

Dari Ibn Umar ra. Dari Nabi saw, beliau bersabda : “ Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin, seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya, demikian pula seorang isteri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya.Kalian adalah pemimpin yang akan dimintai 
pertanggungtawaban atas kepemimpinan kalian”.(HR. Bukhari dan Muslim)

Menelisik dari pernyataan haidts tersebut, maka semua menusia adalah pemimpin. Tak terkecuali itu laki-laki ataupun perempuan. Jika telah terdengan kata pemimpin, maka tentu akan berhadapan dengan tanggung jawab, yang akan dipertanggung jawabkan atas kepemimpinannya. Seorang ayah akan bertanggung jawab untuk melindungi istri dan anak-anaknya, seorang istri bertanggung jawab menajaga harta dan kehormatannya, bahkan sampai seorang presiden pun juga harus bertanggung jawab untuk memakmurkan rakyatnya.
Dengan berbagai macam tanggung jawab sesuai status yang dipimpinnya, ada salah satu hal yang penulis kira sangat urgen untuk diperhatikan, yakni jati diri. Dalam bahasa dunia pendidikan disebut dengan istilah integritas. John C. Maxwel mengungkapkan bahwa integritas adalah tidak mengandalkan siapa yang ada disekitar kita, akan tetapi selalu mempunyai prinsip siapa diri kita, tidak peduli di mana dan dengan siapa berada (John. Maxwell,1995:37).  Dengan mempunyai prinsip ini, pemimpin akan senantiasa mengayati diri sendiri sebelum ia memimpin orang lain.
Seorang yang mempunyai integritas, selalu komitmen dan merasa aman dengan apa yang dilakukanya. Karena ia mengatakan sesuai dengan apa yang dia lakukan. Seorang ayah, tidak akan menyuruh anaknya untuk berkata jorok misalnya, sebelum ayah itu memperbaiki diri untuk tidak berkata jorok didepan anaknya. Dengan ini, pemimpin akan selalu luas untuk memberikan program baru, metode baru, atau tehnik baru untuk mewujudkan sebuah program yang telah direncanakan. Bahkan dengan ini pula pemimpin akan mudah untuk merealisasikannya dengan dasar mempunyai kepercayaan yang kuat.
Langkah awal dalam membangun sebuah kepercayaan adalah harus dimulai dari diri pemimpin itu sendiri. Pemimpin yang bijaksana lebih banyak berbuat dari pada hanya omong kosong yang tidak ada pengaruhnya.  Kualitas dan pengaruh sebuah pernyataan tergantung siapa yang menyatakan. Jika ungkapan “mari sholat” misalnya diungkapkan oleh orang yang benar-benar rajin ibadah, tentu kualitasnya berbeda jika ungkapan tersebut dinyatakan oleh orang jarang beribadah, sekalipun kalimatnya sama. Sehingga tidak heran ketika hadits nabi itu merupakan pernyataan sakral bahkan menjadi sumber hukum, karena memang nabi mepunyai integritas tinggi dan mempunyai hubungan dekat dengan Tuhan.
Nah, ironisnya, dewasa ini tidak jarang seorang pemimpin hanya mendahulukan citra dari pada integritasnya. Mereka hanya menampakkan simbol kebohongan, untuk membuat orang lain mengerti tentang diri kita, tidak berusaha mengerti apa yang ada dalam diri kita sesungguhnya. Citra banyak menjanjikan tetapi sedikit menghasilkan, sementara integritas tidak pernah mengecewakan (John. Maxwell,1995:37).
Dengan demikian, seorang pemimpin tidak hanya mengandalkan kepintaran. Jauh lebih penting dari itu adalah kejujuran, keterbukaan, dan sesuai dengan apa yang dikatakan. Dengan modal integritas ini akan mempermudah untuk mengaktualisasika kepintaranya karena mempunyai pengaruh dan dukungan serta kepercayaan yang kuat. Ann Landers mengatakan “Orang yang mempunyai integritas mengharapkan untuk dipercaya. Mereka juga tahu waktu akan membuktikan bahwa mereka benar dan bersedia menunggu”. Wallahu A’lam.

Disarikan dari bukunya John. C. Maxwell


Thursday 11 February 2016

Pengakuan Imam Al-Ghozali Yang Begitu Menyentuh Hati.






            
Oleh : Abdur Rofik  

               Nama Al-Ghazali tidak asing lagi dikalangan intelektual Islam, Ia dikenal sebagai hujjah al-Islam (argumentator Islam). Telah banyak karyanya yang diaji baik di kalangan mahasiswa maupun di kalangan santri Pondok Pesantren. Terlebih karyanya yang berjudul Ihya' al-ulumiddin, kitab yang dikarang setelah ia mengalami skpetis ini merupakan kitab paling populer di kancah internasional. Namun demikian, hasil karangan beliau yang tertuang dalam kitab Ihya' Ulumiddin merupakan hasil dari perenungan tentang tujuan mencari kebenaran yang hakiki adalah melalui kebenaran hati. Ia menyebutkan bahwa kebahagian yang nyata adalah kebahagian bathin. Gemerlap dunia dengan hiasan yang begitu indah, sehingga tak jarang orang mengejarnya merupakan kebagian yang dapat membuat orang -orang terlena dan lupa pada tujuan hidup yang sebenarnya, yakni mengetahui Allah secara hakiki. Dalam kondisi kesedihan hati tersebut, Al-Ghazali menuangkan pernyatan terharuny adalah kitab Al-Munqidz Minadlalal yang berbunyi: 




ثم تفكرت في نيتي في التدريس فإذا هي غير خالصة لوجه الله تعالى, بل باعثها ومحركها طلب الجاه وانتشار الصيت, فتيقنت أني على شفا جُرُف هار, وأني قد أشفيت على النار, إن لم أشتغل بتلافي الأحوال. فلم أزل أتفكر فيه مدة ، وأنا بعدُ على مقام الاختيار, أصمم العزم على الخروج من بغدادومفارقة تلك الأحوال يوماً، وأحل العزم يوماً ، وأقدم فيه رجلاً وأؤخر عنه أخرى. لاتصدق لي رغبة في طلب الآخرة بكرة، إلاويحمل عليها جند الشهوة حملة فيفترها عشية. فصارت شهوات الدنيا تجاذبني بسلاسلهاإلى المقام ، ومنادي الإيمان ينادي: الرحيل! الرحيل! فلم يبق من العمر إلا قليل ، وبين يديك السفر الطويل، وجميع ما أنت فيه من العلم والعمل رياء وتخييل! فإن لم تستعدالآن للآخرة فمتى تستعد؟ وإن لم تقطع الآن هذه العلائق فمتى تقطع؟ فعند ذلك تنبعث الداعية ، وينجزم العزم على الهرب والفرار.ثم يعود الشيطان ويقول:هذه حال عارضة، إياك أن تطاوعها ، فأنـها سريعةالزوال؛ فإن أذعنت لها وتركت هذا الجاه العريض، والشأن المنظوم الخالي عن التكديروالتنغيص، والأمر المسلم الصافي عن منازعة الخصوم، ربماالتفتت إليه نفسك، ولايتيسر لك المعاودة.فلم أزل أتردد بين تجاذب شهوات الدنيا، ودواعي الآخرة، قريباً من ستة أشهر أولها رجب سنة ثمانوثمانين وأربع مائة. وفي هذاالشهر جاوز الأمر حدالاختيار إلى الاضطرار، إذ أقفل الله على لساني حتى اعتقل عن التدريس، فكنت أجاهدنفسي أن أدرس يوماً واحداً تطييباً لقلوب المختلفة إلي، فكان لاينطق لساني بكلمة (واحدة) ولا أستطيعها البتة ، حتى أورثت هذه العقلة في اللسان حزناًفي القلب، بطلت معه قوة الهضم ومراءة الطعام والشراب: فكان لا ينساغ لي ثريد، ولاتنهضم لي لقمة, وتعدى إلى ضعف القوى ، حتى قطع الأطباء طمعهم من العلاج وقالوا: هذاأمر نـزل بالقلب ، ومنه سرى إلى المزاج ، فلا سبيل إليه بالعلاج، إلا بأن يتروح السر عن الهم الملم.
ثم لما أحسست بعجزي، وسقط بالكلية اختياري، التجأت إلى الله تعالى التجاء المضطر الذي لا حيلة له، فأجابني الذي يجيب المضطر إذا دعاه, وسهل على قلبي الإعراض عن الجاه والمال والأهل والولد والأصحاب, وأظهرت عزم الخروج إلى مكة وأناأدبّر في نفسي سفر الشام حذراً أن يطلع الخليفة وجملة الأصحاب على عزمي على المقام في الشام, فتلطفت بلطائف الحيل في الخروج من بغداد على عزم أن لا أعاودهاأبداً. [1]

“Aku renungkan niatku dalam mengajar, ternyata niatku bukan karena Allah, melainkan niat untuk mencari popularitas, pangkat dan jabatan, sehingga mengantarkanku ke jurang kehancuran. Sungguh aku ini akan terjilat api neraka sekiranya tidak segera memperbaiki diri. Kesenangan akan harta dunia menyeretku dengan rantai-rantainya ke kuburan. Sementara panggilan iman terdengar sayup-sayup tanpa aku gubris. Padahal umur ini tinggal terasa sedikit, dan nantinya akan kuterima catatan lembaran amal yang sangat rinci memuat pamrih-pamrihku selama ini. Syetan selalu membisikkan bujuk rayunya” Hidup ini adalah peluang bagus untuk mendapatkan segalanya, jangan kau sia-siakan”. Terus-menerus aku diliputi keraguan antara mengikuti bisikan syetan dan pesona gemerlap dunia dengan mengabaikan dorongan akhirat, selama tidak kurang dari enam bulan, mulai dari bulan Rajab tahun 488 H. Di bulan ini mulutku terkunci rapat tak bisa berkata apa-apa, hingga aku tak bisa mengajar. Hatiku begemuruh menahan rasa sedih, bahkan aku tak mampu mengunyah makanan sehingga kian hari badanku melemah. Para dokter sibuk berusaha mengobati. Namun, akhirnya mereka tahu bahwa sakit yang aku derita berasal dari kesedihan hati. Maka, kesembuhannya pun hanya bisa terjadi, bila ada ketentraman hati. Di saat aku sudah merasa lemah tak berdaya aku pasrah sepenuhnya kepada Allah. Lalu aku merasa mendengar bisikan menyelinap ke relung hatiku agar aku berpaling dari kemewahan, pangkat, jabatan, keluaga, kerabat, dan sanak saudara. Aku bertekad untuk pergi ke Makkah. Terbesit hati untuk pergi ke arah Syam (Syiria) secara sembunyi-sembunyi agar kepergianku tidak diketahui oleh khalifah dan kerabat dekat. Aku tinggalkan Baghdad dengan niatan tidak kembali selama-lamanya.
     Semoga dengan membaca pernyataan Al-Ghozali ini, kita senantiasa mengingat bahwa sebagaimana yang telah diaungkap oleh Gus. Dur tidak ada sesuatu apapun yang perlu dipertahankan mati-matian di dunia. Kita serahkan semuanya kepada Allah swt. 
Wallahu A'lam

[1]Al-Ghazali, al-Munqidz min al-Dlalal.(Bierut: Dar al-Andalus, 1967), halaman 134-136.

Al-Ghozali; Antara Pendidikan Dan Spiritualitas


 Oleh : Abdurrofik



Dunia pendidikan yang merupakan lembaga bertujuan untuk mencetak kader bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia, harus memperhatikan dari berbagai aspek potensi yang dimiliki seluruh sivitas akademika. Kualitas manusia sebagai makhluk yang menjadi penerus pendahulunya tergantung bagaimana menjalani siklus pendidikannya. Ketika dalam dunia pendidikan tercipta suasana yang tenang, religius, prosedural serta beretika yang baik, maka dapat dipastikan ilmu yang diperoleh akan menjadi pengaruh revolusi ke peradaban yang lebih baik. Namun sebaliknya, jika dalam dunia pendidikan terjadi suanan yang carut-marut dan hanya mengedepankan ketajaman akal, maka jangan heran jika output dari pendidikan tersebut menjadi penerus bangsa yang pintar tapi selalu dihujani oleh masalah, seperti para koruptor yang ada pada saat ini.
            Dalam membentuk kepribadian manusia yang baik, salah satu yang perlu diperhatikan adalah sejauh mana tingkat spiritualitas seorang. Tidak jarang orang yang telah sukses menggapai karir melejit setinggi langit, namun kehidupannya penuh dengan masalah. Kegelisah, kesenjangan sosial, kecemasan bahkan rasa ketakutan senantiasa menghantui. Jika ditelususi kemungkinan besar orang yang seperti itu adalah karena telah haus akan spiritualitas. Sehingga ilmu yang dimilkinya tidak dapat menjadi bahan pengendali gerak aktivitasnya, malah justru membawanya ke jurang kehinaan. Ketika kita kembalikan pada dunia pendidikan, saat ini tindak kriminalitas sebagian besar dilakukan oleh peserta didik. Berita tawuran, pelaku asusila, pecandu  narkoba bahkan pembunuhan yang dimotori oleh siswa selalu menjadi warna-wani media masa. Ini menjadi gambaran bahwa dunia pendidikan saat ini masih lebih memprioritaskan ketajaman akal, padahal seharusnya masih ada potensi lain yang harus senantiasa dikembangkan yakni emosional dan spiritual.
              Al-Ghozali dalam karya monumentalnya Ma'arijul Quds, menjelaskan bahwa spiritualitas merupakan potensi kejiwaan yang ada dalam diri manusia untuk dikembangkan dan dioptimalkan. Al-Ghozali menukil hadits nabi yang menyatakan bahwa pada dasarnya manusia itu baik. Atas dasar hadits ini Al-Ghozali mencoba mengklarifikasi jiwa yang ada pada manusia. Dalam diri manusia ada potensi yang dapat mengantarkan seorang menuju pada kebahagiaan, diataranya adalah potensi berfikir, marah dan syahwat. Kebahagian seorang ditentukan oleh bagaimana ia mengendalikan tiga potensi ini. Artinya, ketika seorang dapat mengendalikan potensi ini dengan baik maka tentu prinsip serta tujuan hidup seorang akan dapat terarah dan sesuai dengan kode etik yang ada.
            Ketika dikaitkan dengan dunia pendidikan, Al-Ghozali mejelaskan bahwa pendidikan yang benar adalah wahana untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tidak mengecualikan dunia pendidikan itu yang background-nya pendalaman ilmu dunia atau ilmu umum. Ilmu umum ketika senantiasa diimbangi dengan perenungan tentang ke-Tuhanan maka juga akan mengantarkan seorang pada keimanan yang lebih kuat. Seperti mempelajari ilmu Geografi misalnya, ketika diimbangi dengan perenungan tentang KeTuhanan maka pencari ilmu akan berfikir begitu besar ciptaan Tuhan yang telah menciptakan planet-planet dan benda langit lainnya. Jika kepribadian seorang telah diwarnai dengan ke-Tuhanan maka pasti juga akan berpengaruh terhapap gerak aktifitas sehari-harinya. Dengan demikian maka apabila seorang yang berilmu namun tidak mendapatkan cahaya dari Tuhan, maka ilmu tersebut akan tampak gelap artinya tidak akan tampak pada gerak aktifitasnya.
            Dengan spiritualitas pula, seorang akam mampu menentukan hakikat hidupnya. Dan menyatakan bahwa kebahagian, ketenangan dan ketentraman yang nyata adalah ketika dalam hatinya selalu memancar nama Tuhan, terlebih apabila seorang dapat mengetahui Allah secara hakiki (al-Ma’rifat Billah). Lebih dari pada itu, tingginya spiritualitas tidak hanya sejauh mana hubungan seorang dengan sang kholiknya, malainkan juga bagaimana kehidupan sosial dengan sesama. Pengalaman spiritual dapat juga dilakukan dengan cara menjalani kehidupan sosial dengan baik, seperti ada perasaan empati pada orang lebih tidak mampu, peka, dan bijaksana dalam mengambil sebuah keputusan.
            Dengan ini jelas, dunia pendidikan yang selayaknya harus dijunjung tinggi dan merupakan wahana yang mulia jangan sampai mengesampingkan peran spiritualitas. Penulis membayangkan seandainya dalam pendidikan itu berjalan seimbang antara proyeksi intelektual dan spiritual, maka dapat dipastikan bahwa pendidikan itu akan mewujudkan tujuan pendidikan yang telah diproklamirkan oleh pemerintah yakni membentuk generasi yang cerdas, kreatif serta Iman kepada Allah swt. 

Disarikan dari kitab Ma'rijul Quds dan, Ihya'ulumiddin Dan Mizanu al-Amal.