وعن بن عمر رضي الله عنهما عن
النبي صلى الله عليه وسلّم قال: كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ
رَعيّتِهِ, والأميرُ راعٍ, والرّجُلُ راعٍ على أهلِ بيتِهِ, والمرأةُ رَاعِيَّةٌ
على بيتِ زوجِها وَوَلَدِهِ, فكلّكم راعٍ وكلّكم مسئولٌ عنْ رَعِيَّتِهِ. (متفق
عليه)
Dari Ibn Umar ra. Dari Nabi saw,
beliau bersabda : “ Kalian adalah pemimpin dan kalian akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinan kalian. Seorang penguasa adalah pemimpin,
seorang suami adalah seorang pemimpin seluruh keluarganya, demikian pula
seorang isteri adalah pemimpin atas rumah suami dan anaknya.Kalian adalah
pemimpin yang akan dimintai
pertanggungtawaban atas kepemimpinan kalian”.(HR. Bukhari dan Muslim)
Menelisik dari
pernyataan haidts tersebut, maka semua menusia adalah pemimpin. Tak terkecuali
itu laki-laki ataupun perempuan. Jika telah terdengan kata pemimpin, maka tentu
akan berhadapan dengan tanggung jawab, yang akan dipertanggung jawabkan atas
kepemimpinannya. Seorang ayah akan bertanggung jawab untuk melindungi istri dan
anak-anaknya, seorang istri bertanggung jawab menajaga harta dan kehormatannya,
bahkan sampai seorang presiden pun juga harus bertanggung jawab untuk
memakmurkan rakyatnya.
Dengan berbagai
macam tanggung jawab sesuai status yang dipimpinnya, ada salah satu hal yang
penulis kira sangat urgen untuk diperhatikan, yakni jati diri. Dalam bahasa
dunia pendidikan disebut dengan istilah integritas. John C. Maxwel
mengungkapkan bahwa integritas adalah tidak mengandalkan siapa yang ada
disekitar kita, akan tetapi selalu mempunyai prinsip siapa diri kita, tidak peduli
di mana dan dengan siapa berada (John. Maxwell,1995:37). Dengan mempunyai prinsip ini, pemimpin akan
senantiasa mengayati diri sendiri sebelum ia memimpin orang lain.
Seorang yang
mempunyai integritas, selalu komitmen dan merasa aman dengan apa yang
dilakukanya. Karena ia mengatakan sesuai dengan apa yang dia lakukan. Seorang ayah,
tidak akan menyuruh anaknya untuk berkata jorok misalnya, sebelum ayah itu
memperbaiki diri untuk tidak berkata jorok didepan anaknya. Dengan ini,
pemimpin akan selalu luas untuk memberikan program baru, metode baru, atau
tehnik baru untuk mewujudkan sebuah program yang telah direncanakan. Bahkan dengan
ini pula pemimpin akan mudah untuk merealisasikannya dengan dasar mempunyai
kepercayaan yang kuat.
Langkah awal
dalam membangun sebuah kepercayaan adalah harus dimulai dari diri pemimpin itu
sendiri. Pemimpin yang bijaksana lebih banyak berbuat dari pada hanya omong
kosong yang tidak ada pengaruhnya. Kualitas
dan pengaruh sebuah pernyataan tergantung siapa yang menyatakan. Jika ungkapan “mari
sholat” misalnya diungkapkan oleh orang yang benar-benar rajin ibadah, tentu
kualitasnya berbeda jika ungkapan tersebut dinyatakan oleh orang jarang
beribadah, sekalipun kalimatnya sama. Sehingga tidak heran ketika hadits nabi
itu merupakan pernyataan sakral bahkan menjadi sumber hukum, karena memang nabi
mepunyai integritas tinggi dan mempunyai hubungan dekat dengan Tuhan.
Nah,
ironisnya, dewasa ini tidak jarang seorang pemimpin hanya mendahulukan citra
dari pada integritasnya. Mereka hanya menampakkan simbol kebohongan, untuk
membuat orang lain mengerti tentang diri kita, tidak berusaha mengerti apa yang
ada dalam diri kita sesungguhnya. Citra banyak menjanjikan tetapi sedikit
menghasilkan, sementara integritas tidak pernah mengecewakan (John.
Maxwell,1995:37).
Dengan
demikian, seorang pemimpin tidak hanya mengandalkan kepintaran. Jauh lebih
penting dari itu adalah kejujuran, keterbukaan, dan sesuai dengan apa yang
dikatakan. Dengan modal integritas ini akan mempermudah untuk mengaktualisasika
kepintaranya karena mempunyai pengaruh dan dukungan serta kepercayaan yang
kuat. Ann Landers mengatakan “Orang yang mempunyai integritas mengharapkan
untuk dipercaya. Mereka juga tahu waktu akan membuktikan bahwa mereka benar dan
bersedia menunggu”. Wallahu A’lam.
Disarikan dari bukunya John. C. Maxwell
Disarikan dari bukunya John. C. Maxwell