Sebagaimana yang kita pahami bahwa
demokrasi merupakan sistem negara yang menitik beratkan kekuasaan di tangan
rakyat. Istilah demokrasi berasal dari
bahasa yunani dari kata demokrata yang berarti kekuasaan di tangan rakyat. Dengan demikian, maka rakyat
mempunyai peran penting dalam menentukan kemajuan sebuah negara, lantaran
pemimpin negara dipilih langsung oleh rakyat.
Sehingga, ratyatlah yang mempunyai kedaulatan tertinggi.
Kalangan agama Islam di belahan
dunia, terlebih di kawasan Timur Tengah, sistem demokrasi menuai sorotan yang
begitu tajam. Selain memberikan alasan ideologis, mereka menyatakan bahwa
demokrasi merupakan produk orang barat yang tentunya didominasi oleh kalangan
orang kafir. Hal ini menurut mereka dapat mengakibatkan fatal ketika pemimpin
di pegang oleh orang yang bukan ahlinya. Karena, dalam demokrasi semua orang
atau rakyat dapat menjadi pemimpin. Sebagaimana dalam hadits nabi menyatakan
bahwa ketika sebuah negara dipimpin oleh orang yang bukan ahlinya, maka tunggu
saat kehancurannya. Namun, ada cendikiawan muslim yang tetap kokoh dalam
membela sistem demokrasi. Sebut saja salah satunya adalah Ali Abdur Raziq,
seorang sarjana mesir yang menyatakan bahwa Islam tidak memberikan ketentuan
khusus dalam menjalankan sistem pemerintahannya. Sehingga, suatu negara
diperkenanka untuk membuat sistem pemerintahannya masing-masing.
Dari berbagai kontroversi yang ada,
lantas bagaimana posisi pesantren dalam menanggapi iklim pemerintahan demokrasi
khususnya di Indonesia?. Kita telah tahu, bahwa pesantren merupakan institusi
keagamaan yang tentu dalam segala bentuk tindakannya mempunyai landasan
teoritis yang ilmiyah. Hal ini lantaran dipicu oleh peran para kiai yang sudah
tidak diragukan lagi dalam memahami ilmu agama. Namun, jika kita melirik pada
sejarah pergulatan politik yang terjadi di Indonesia, mulai dari orde lama,
orde baru bahkan sampai masa reformasi, pesantren merupakan lembaga yang
responsip terhadap hangatnya iklim politik di Indonesia. Kita lihat, sejak masa
kemerdekaan, pesantren tidak hanya respon dalam sistem demokrasi di Indonesia,
melaikan juga ikut andil dalam mewarnai pergulatan politik di Indonesia.
Seperti pernah membentuk partai politik semisal Masyumi, NU, dan Perti.
Jika kita memantau khasanah Islam
klasik, maka akan kita temukan bahwa perpolitikan sangat diharamkan. Tidak hanya
itu, kalangan Islam yang mengikuti aliran wabisme, secara tegas menyatakan
bahwa politik adalah bid’ah yang kaitannya adalah sesat. Sebagaimana interpretasi
kaum wahabi yang mengklaim bahwa semua bid’ah sesat dan pada akhirnya pasti
masuk neraka. Lain seperti intrepratsi kalangan sunni, yang masih memerinci
istilah bid’ah dalam hadis nabi tersebut. Yakni, Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Sayyi’ah.
Sejak Indonesia merdeka, kontrubusi
pesantren dalam iklmi demokrasi Indonesia sangat nampak. Sebut saja seperti
peran kiai dalam membentuk rancangan Pancasila. Salah satu diantara anggotanya
adalah KH. Wahid Hasyim yang merupakan putra dari pendiri organisasi keagamaan
terbesar di Indonesia, Nahldatul Ulama’, KH. Hasyim Asy’ari. Ia membenarkan
sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Tidak hanya itu, berlanjut pada
masa berikutya, pesantren memberikan sumbangsing dalam perpolitikan yang kokoh.
Awalnya, semua pesantren terhimpun dalam partai Islam semisal NU, Masyumi dan
Perti. Namun, karena semakin sadar dan mengertinya pergulatan politik di
Indonesia, para kiai ataupun tokoh Islam melebarkan sayapnya pada partai
nasioanal seperti Golkar, atau patai nasional lainnya.
Kini, dalam dunia pesantren sendiri
telah banyak diajarkan tentang sistem demokrasi di Indonesia. Baik secara
teoritis dengan memberikan pelajaran kewarganegaraan pada santri, maupun secara
praktis dengan memberikan pembelajaran dalam pemilihan ketua, pembentukan
organisasi otonom, melakukan sidang-sidang bahkan juga mengatur sebuah siasat
dalam merebut sebuat kekuasaan. Namun, di pesantren, iklim seperti ini hanya sebagai
wahana miniatur yang orientasinya adalah belajar. Dalam artian, tetap
senantiasa menjadikan sosok kiai sebagai tokoh sentral yang mempunyai kekuatan
hukum final. Akhirnya, dengan berbagai macam pembelajaran yang diterapkan di
pesantren, santri tidak melulu berperan sebagai kiai atau tokoh masyarakat,
melainkan juga telah terbukti banyak santri yang telah berkiprah menjadi tokoh
politik, Dewan Perwakilan Rakyat, wartawan, bahkan juga tak jarang yang telah menjadi
kepala daerah.
Dengan demikian, maka pesantren
selain tetap konsisten dalam kepentinngan institionalnya, juga siap dalam
menerjemahkan nilai-nilai manusia modern. Termasuk dalam memaknai arti
demokrasi itu sendiri. Disamping itu, lantaran memang pesantren merupakan
lemabaga pendidikan Islam tertua yang bertanggung jawab untuk menjelaskan Islam
dalam kegandrungan manusia modern saat ini. Selain itu, tidak harus serta merta
menjadi tanggung utama pesantren, melainkan juga umat Islam seluruhnya dalam
mengartikan dan menyadari arti demokrasi itu sendiri.
Sumber Bacaan :
Pesantren, Pendidikan Kewarganegaraan dan Demokrasi, 2009.
Mujail Qomar. Pesantren Dari Transformasi Metodologi
Menuju Demokrasi Institusi, 2002.
Top markotop!
ReplyDeleteterasa kaku masihan tulisannya geh, perlu dipijet biar lemes tulisannya.
Delete